"Apa yang telah negara berikan untukmu? Pertolongan apa yang negara hadirkan untukmu saat susah dan terhimpit?"
Jangan tanyakan itu kepada Marni. Sebab Ia adalah korban premanisme yang dilakukan oleh kaki tangan negara. Marni adalah saksi bagaimana negara menciptakan ketakutan dan memaksakan kepasrahan.
Kisah Marni tertuang dalam 282 halaman "Entrok" karya Okky Madasari. Berlatar tahun 1960-an hingga 90-an ketika orde baru berkuasa dengan segala kesewenangan-sewenang yang diam-diam menyisakan trauma mendalam bagi rakyat.
Sejak kecil Marni terbiasa hidup susah bersama ibunya. Demi bisa makan, keduanya harus berjalan kaki menuju pasar dan menjadi buruh kupas singkong di sana. Upah yang mereka terima bukan berupa uang, melainkan hanya singkong. Sehari-hari Marni dan simbok mengisi perut mereka dengan singkong, gaplek, dan sesekali nasi.
Menginjak remaja Marni ingin memiliki entrok atau bra untuk melindungi buah dadanya. Namun, simbok tak mampu membelikannya. Marni paham, jika untuk makan saja mereka tak punya cukup uang hingga harus menjadi buruh di pasar, apalagi untuk membeli "barang mewah" seperti entrok.
Marni akhirnya menjadi kuli pengangkut barang di pasar. Meski pekerjaan tersebut dianggap tak pantas dan tak mampu dilakukan oleh seorang wanita, ada beberapa orang pedagang dan pembeli di pasar yang menjadikan Marni sebagai kuli langganan. Untuk jasanya itu Marni mendapat sekeping uang logam.Â
Upah tersebut Marni kumpulkan sedikit demi sedikit hingga ia mampu mewujudkan keinginannya. Sebuah entrok telah dibelinya. Menggunakan entrok membuat Marni lebih nyaman bekerja dan bergerak mengangkat barang-barang milik pembeli atau pedagang di pasar.
Dengan sisa upah yang terkumpul, Marni kemudian membeli sembako dan barang-barang kebutuhan. Bukan untuk digunakannya sendiri, melainkan dijual kembali. Sejak saat itu Marni tak lagi menjadi kuli. Setiap pagi ia berjalan kaki mengendong karung dan keranjang menawarkan barang dagangan kepada penduduk desa.
Keuntungan yang Marni dapatkan dengan berjualan keliling membuat kehidupannya perlahan membaik. Ia menjadi penjual yang berhasil di desanya. Marni membangun rumah yang tak lagi berdinding gedek dan beratap daun. Rumahnya yang semula berlantai tanah diubahnya menjadi bangunan bertembok yang layak. Marni juga mendirikan beberapa bangunan tambahan sehingga rumahnya menjadi lebih besar.
Perubahan hidup dan kemakmuran Marni membuat orang-orang menjulukinya juragan. Namun, tak sedikit yang melemparkan ujaran sinis bahwa Marni memelihara tuyul, melakukan pesugihan, hingga menyebutnya sebagai lintah darat.