Kalau ada satu negara di dunia yang tak mahir bermain sepakbola, tapi amat mahir bermain drama sepakbola, hampir dipastikan 99% itu adalah Indonesia. Tidak ada selain Indonesia.
Begitu banyak drama, tragedi, intrik, dan lelucon yang terjadi di sepakbola negeri ini. Tak perlu disebut satu per satu lagi. Sebab deretnya terlalu banyak. Lebih banyak dibanding piala dan medali yang bisa kita menangkan.Â
Lagipula menyebutkannya tidak ada guna karena semua drama dan tragedi itu tak pernah benar-benar membuat kita berubah. Kita terus membiarkan setiap peristiwa yang terjadi seperti angin yang lewat. Seperti kita menganggap ratusan nyawa yang melayang di sebuah stadion sebagai kehilangan biasa yang ditimbulkan oleh hembusan angin.
Tak peduli pada kemanusiaan. Tak peduli pula pada martabat dan kehormatan bangsa. Sepakbola di Indonesia sudah hampir sama dengan praktik politik negeri ini yang telah memasuki level sangat rusak. Satu-satunya yang dipedulikan ialah kepentingan sempit belaka.
Maka tak heran jika kegagalan menggelar Piala Dunia yang sudah di depan mata hanya dikomentari lamis oleh mereka dengan kalimat: "Jangan bersedih, ini bukan kiamat".
Tentu bagi mereka tidak pernah ada kiamat. Perangai politik mereka memang tidak takut pada hari akhir sehingga di dunia berperilaku ugal-ugalan. Tak ada kiamat bagi mereka karena setiap 5 tahun bisa kembali berebut kekuasaan. Bisa kembali merampok jabatan.
Tapi bagi anak-anak bangsa yang menggenggam mimpi, kiamat itu hampir nyata. Sebab 5 tahun, 10 tahun, bahkan 50 tahun ke depan belum tentu akan ada datang lagi kesempatan bangsa ini untuk berlaga di piala dunia.Â
Sekali lagi orang-orang itu tidak peduli. Tak paham tentang mimpi bangsa sendiri. Meski yang terdengar dari suara mereka seolah-olah membela kepentingan bangsa, tapi tindak-tanduk mereka pada akhirnya mempermalukan martabat bangsa. Menghancurkan mimpi anak bangsa.
Kita tak perlu berdebat tentang hubungan politik dan olahraga. Faktanya gelanggang olahraga di seluruh dunia selalu bersinggungan dengan praktik politik. Bedanya di tempat-tempat itu politik olahraga dimainkan secara asyik. Para lakonnya tahu bagaimana menggunakan politik pada kadar yang sesuai sehingga olahraga mencapai tujuan terbaik. Mereka paham bahwa campur tangan politik dalam olahraga dibutuhkan agar olahraga memiliki tujuan. Yakni mewujudkan kebanggaan dan kemenangan sebagai bangsa.
Sementara di negeri ini, campur tangan politik dalam olahraga lebih menyerupai praktik sabotase oleh para hantu-hantu politik. Bukan politik olahraga yang disuguhkan, melainkan politisasi olahraga.Â