Isu Islamofobia semakin sering terdengar gaungnya di Indonesia. Baik melalui seruan-seruan di media sosial maupun secara langsung di tengah kehidupan masyarakat.
Sebenarnya aneh jika Islamofobia menjadi ancaman di negara yang 90% penduduknya beragama Islam. Aneh jika ada Islamofobia di negeri yang kumandang adzan bebas diperdengarkan dari setiap sudut tersempitnya.Â
Aneh pula Islamofobia didengungkan oleh kelompok-kelompok dominan yang selama ini justru mendapatkan perlakuan sangat istimewa. Sama anehnya ketika Islamofobia diarahkan sebagai tuduhan kepada kelompok-kelompok yang tertindas dan kurang berdaya.
Namun, begitulah yang terjadi di Indonesia. Saat beberapa negara Islam memperlihatkan motivasi untuk berubah menjadi lebih moderat, Islam di Indonesia justru memperlihatkan gejala kemunduran. Semakin mudah dijumpai ekspresi beragama di Indonesia yang mengalami pendangkalan dan pelemahan.
Ironisnya, ketidakmampuan sekelompok umat Islam untuk mengevaluasi dan mengatasi persoalan tersebut seringkali justru dilampiaskan dengan melempar isu Islamofobia. Mengingkari kekurangan diri sendiri dengan berlaku seolah masalahnya berasal dari pihak luar. Kurang lebih begitu.
Memang tidak menutup kemungkinan ada Islamofobia di Indonesia. Seperti halnya Islamofobia bisa muncul di negara mana pun. Akan tetapi, di negeri ini Islamofobia agaknya tidak muncul dari kekhawatiran kelompok keyakinan lain terhadap Islam. Melainkan bersumber dan berkembang dari sekelompok umat Islam itu sendiri.
Islamofobia di Indonesia lebih mirip sebagai fenomena ketakutan umat Islam untuk mengembangkan Islam yang menjadi rahmat bagi alam dan sesama. Ketakutan sebagian umat untuk mengakui bahwa Islam yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad adalah Islam yang toleran dan menghargai perbedaan.
Terabadikan dalam sejarah umat manusia bagaimana Nabi Muhammad menjadikan ajaran Islam sebagai salah satu tonggak perdamaian yang agung. Nabi mencontohkan dengan sangat sempurna bahwa Islam dan toleransi tidak bisa dipisahkan. Bahwa Islam yang merahmati alam menggunakan toleransi sebagai pilar utamanya.
Maka dari itulah Nabi Muhammad tidak ragu dan tidak pula khawatir ketika mempersilakan sekelompok Kristen Najran untuk beribadah di dalam masjid Nabawi. Sebab saat itu mereka yang sedang berkunjung ke tempat Nabi tidak menemukan tempat ibadahnya.
Nabi juga membuat beberapa perjanjian yang menjamin bahwa para penganut keyakinan lain tidak akan dihalang-halangi untuk beribadah. Pada saat bersamaan Nabi memperingatkan bahwa umat Islam yang tidak menghormati perjanjian tersebut bukan hanya tidak mematuhi perintah Nabi, tapi juga telah menghina Islam.