"Museum sejatinya tempat yang istimewa dan berharga. Namun, seringkali tampak terlalu sederhana dan seadanya"
Pernah membuat geger dan mengundang perhatian luas dari para ahli sejarah nasional karena banyak koleksi di dalamnya hilang dan dipalsukan. Bahkan diduga beberapa koleksi yang hilang telah diganti dengan benda serupa yang dibeli dari pasar loak.
Hal itu membuat saya penasaran untuk bertandang ke Museum Radya Pustaka. Ingin rasanya mengintip isi museum tertua di Indonesia ini.
Terletak di Jalan Slamet Riyadi No. 275 Kota Surakarta, menemukan Museum Radya Pustaka sangatlah mudah. Lokasinya di jantung kota dan menyatu dengan kawasan citywalk membuatnya tidak sulit dijangkau.
Radya Pustaka yang menurut asal katanya berarti "perpustakaan keraton" didirikan pada 28 Oktober 1890 semasa Surakarta diperintah oleh Pakubuwono IX. Artinya Museum Radya Pustaka sebentar lagi akan genap berusia 131 tahun.
Bangunan ini mulanya bernama Loji Kadipolo dan baru difungsikan sebagai museum pada 1913. Walau telah mengalami beberapa kali renovasi, gaya arsitektur Belanda masih tampak kental sebagaimana awalnya.
Dua kali saya berkunjung ke Radya Pustaka dan rasanya tak banyak yang berubah dari dua kali kedatangan tersebut. Waktu pertama kali datang pada 2019 silam, saya sempat kaget karena petugas yang menyambut di depan hanya meminta saya menuliskan nama dan asal di buku tamu. Tak ada tiket masuk yang perlu saya bayarkan. Demikian pula ketika saya menanyakan izin memotret koleksi di ruang pamer dengan smartphone. Tak ada tarif untuk memotret.
Namun, saya diingatkan agar tidak mengambil gambar ke arah ruang perpustakaan dan tempat penyimpanan naskah-naskah kuno. Demi alasan keamanan hanya orang-orang tertentu yang memiliki izin khusus yang bisa mengakses ruangan tersebut. Biasanya para peneliti atau mahasiswa yang sedang melakukan penelitian naskah kuno.