Saya tidak ingat pasti pada umur berapa atau kelas berapa saya mulai berpuasa. Agaknya saat kelas 5 DS saya telah terbiasa berpuasa sehari tuntas dari waktu subuh sampai maghrib. Bukan "puasa bedug" atau setengah hari yang waktu berbukanya ditentukan sendiri dengan acuan bedug dan adzan dzuhur.
Ramadan saat saya kecil juga menjadi Ramadan yang sederhana, tapi istimewa. Sederhana karena kami sekeluarga, sebagaimana orang kampung umumnya, menjalani puasa dengan cara yang sederhana. Selain kehidupan kami yang memang sederhana, penafsiran orang dusun tentang agama dan Ramadan juga tidak terlalu njlimet.
Kami berpuasa, mengaji, dan salat tarawih di tengah lingkungan dusun yang waktu itu sebagian lampu rumah penduduknya masih berupa bohlam oranye. Beberapa ruas jalan di kampung juga masih temaram karena listrik belum merata. Sementara musola kecil di dekat rumah masih berupa bangunan sederhana di sebidang tanah dekat sungai atau kali.
Belum riuh suasana kampung dengan suara TV dan berita-berita politik. Tidak semua rumah punya televisi berwarna. Hanya sedikit orang di lingkungan kami yang punya benda istimewa itu. Sementara saya sempat mengalami masa kecil dengan pesawat TV tabung hitam putih di ruang tengah dan mendengar suara azan magrib dari radio.
Akan tetapi rasanya semua itu membuat Ramadan dahulu terasa istimewa. Saya dan teman-teman punya banyak waktu berkumpul sambil menunggu bedug maghrib.
Biasanya kami menghabiskan sore dengan bermain apa saja di sekitar rumah. Kami memainkan ular tangga, kelereng, dan wayangan yang tak menghabiskan banyak tenaga.
Waktu itu masih banyak kebun dan pekarangan rumah yang jadi tempat ngabuburit menyenangkan bagi kami anak kampung. Banyak pohon yang bisa dipanjat dan banyak kali yang bisa jadi arena main air. Termasuk kali di belakang rumah kami yang alirannya jernih dan belum sedangkal sekarang karena sudah dikelilingi banyak bangunan.
Dulu di kebun-kebun atau pekarangan rumah, serta di kali-kali itulah saya dan teman-teman bisa lupa kalau kami sedang berpuasa. Maksudnya kami bisa lupa waktu sehingga tiba-tiba hari sudah sore.
Kami leluasa bermain karena saat kecil sekolah sering libur atau pulang lebih cepat selama Ramadan. Tanpa diaba-aba dan sudah sama-sama tahu, setibanya di rumah kami sudah paham harus menuju ke mana untuk berkumpul. Sering pula teman-teman menjemput saya. Ketika terdengar nama saya dipanggil dari luar, itu tanda bagi saya untuk bergabung dengan mereka.
Istimewanya, bapak dan ibu memberikan kelonggaran bagi saya. Pada hari-hari biasa, sepulang sekolah saya diharuskan tidur siang dan baru boleh bermain sore harinya. Akan dimarahi dan bahkan diseret pulang kalau saya ketahuan kabur dari keharusan tidur siang.
Namun, saat Ramadan bapak dan ibu membolehkan saya bermain lebih lama di luar rumah dengan teman-teman. Saya pun bisa melewatkan tidur siang.