Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Ramadan di Kampung Penuh Keistimewaan dan Tanpa Razia Warung Makan

19 April 2021   19:40 Diperbarui: 19 April 2021   19:57 606
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Indahnya kebahagiaan masa kanak-kanak | foto: shutterstock via Lokadata.id

Saya tidak ingat pasti pada umur berapa atau kelas berapa saya mulai berpuasa. Agaknya saat kelas 5 DS saya telah terbiasa berpuasa sehari tuntas dari waktu subuh sampai maghrib. Bukan "puasa bedug" atau setengah hari yang waktu berbukanya ditentukan sendiri dengan acuan bedug dan adzan dzuhur.

Ramadan saat saya kecil juga menjadi Ramadan yang sederhana, tapi istimewa. Sederhana karena kami sekeluarga, sebagaimana orang kampung umumnya, menjalani puasa dengan cara yang sederhana. Selain kehidupan kami yang memang sederhana, penafsiran orang dusun tentang agama dan Ramadan juga tidak terlalu njlimet.

Kami berpuasa, mengaji, dan salat tarawih di tengah lingkungan dusun yang waktu itu sebagian lampu rumah penduduknya masih berupa bohlam oranye. Beberapa ruas jalan di kampung juga masih temaram karena listrik belum merata. Sementara musola kecil di dekat rumah masih berupa bangunan sederhana di sebidang tanah dekat sungai atau kali.

Belum riuh suasana kampung dengan suara TV dan berita-berita politik. Tidak semua rumah punya televisi berwarna. Hanya sedikit orang di lingkungan kami yang punya benda istimewa itu. Sementara saya sempat mengalami masa kecil dengan pesawat TV tabung hitam putih di ruang tengah dan mendengar suara azan magrib dari radio.

Akan tetapi rasanya semua itu membuat Ramadan dahulu terasa istimewa. Saya dan teman-teman punya banyak waktu berkumpul sambil menunggu bedug maghrib.

Biasanya kami menghabiskan sore dengan bermain apa saja di sekitar rumah. Kami memainkan ular tangga, kelereng, dan wayangan yang tak menghabiskan banyak tenaga.

Waktu itu masih banyak kebun dan pekarangan rumah yang jadi tempat ngabuburit menyenangkan bagi kami anak kampung. Banyak pohon yang bisa dipanjat dan banyak kali yang bisa jadi arena main air. Termasuk kali di belakang rumah kami yang alirannya jernih dan belum sedangkal sekarang karena sudah dikelilingi banyak bangunan.

Dulu di kebun-kebun atau pekarangan rumah, serta di kali-kali itulah saya dan teman-teman bisa lupa kalau kami sedang berpuasa. Maksudnya kami bisa lupa waktu sehingga tiba-tiba hari sudah sore.

Kami leluasa bermain karena saat kecil sekolah sering libur atau pulang lebih cepat selama Ramadan. Tanpa diaba-aba dan sudah sama-sama tahu, setibanya di rumah kami sudah paham harus menuju ke mana untuk berkumpul. Sering pula teman-teman menjemput saya. Ketika terdengar nama saya dipanggil dari luar, itu tanda bagi saya untuk bergabung dengan mereka.

Istimewanya, bapak dan ibu memberikan kelonggaran bagi saya. Pada hari-hari biasa, sepulang sekolah saya diharuskan tidur siang dan baru boleh bermain sore harinya. Akan dimarahi dan bahkan diseret pulang kalau saya ketahuan kabur dari keharusan tidur siang.

Namun, saat Ramadan bapak dan ibu membolehkan saya bermain lebih lama di luar rumah dengan teman-teman. Saya pun bisa melewatkan tidur siang.

Selain di pekarangan sekitar rumah dan kali di dekat musola, saya dan teman-teman juga suka menghabiskan waktu saat Ramadan dengan tidur-tiduran di teras musola. Saat itu lantai musola sudah berlapis keramik. Karena sekeliling musola ditumbuhi banyak pohon, maka sejuknya udara juga membuat lantai musola jadi lebih dingin. Hanya dengan tiduran-tiduran di lantai musola dan sambil bergurai sekenanya, kami sudah senang. Tak jarang kami tertidur sungguhan di musola dan baru bangun saat Ashar. Saat itu kami pulang ke rumah untuk mandi, lalu berkumpul lagi di musola sampai menjelang waktu berbuka.

Keistimewaa lain yang saya rasakan saat Ramadan dahulu ialah dibolehkan minum es. Padahal, pada hari biasa bapak dan ibu melarang saya minum es terlalu sering. Apalagi dalam jumlah banyak. Sebab sejak kecil saya sudah menderita penyakit paru-paru.

Akan tetapi beda cerita saat Ramadan tiba. Mula-mula karena saya sering disuruh untuk membeli es batu di warung dekat rumah. Lalu saat berbuka, saya diizinkan untuk menambahkan beberapa potong es batu ke dalam gelas teh manis.

Tidak cukup itu saja. Seusai tarawih, bapak juga sering mengajak saya jajan es dawet di dekat masjid. Dulu musola di dekat rumah tidak menyelenggarakan salat tarawih. Kami harus berjalan kaki lebih jauh menuju masjid desa untuk tarawih. Di sana setiap malam Ramadan banyak orang berjualan. Yang paling saya ingat ialah penjual serabi, jagung bakar, dan es dawet. Setelah tarawih sekitar pukul 20.30 karena kami salat 23 rakaat, saya dan bapak sering lebih dulu berhenti di penjual es dawet itu.

Selain leluasa minum es, saya juga dibolehkan untuk bermain petasan tanpa takut dimarahi. Bahkan, ibu tak marah jika saya menggunakan uang jajan untuk membeli petasan. Jelas itu sesuatu yang istimewa karena di luar bulan Ramadan pastilah ibu dan tetangga akan marah jika mendengar suara petasan meledak di sekitar rumah.

Namun, saat Ramadan suasananya berubah. Saya dan teman-teman seolah dimaklumi untuk bermain petasan di dekat rumah. Jarang ada tetangga yang marah. Bahkan, salah satu tetangga kami yang bernama Mbah Salamun sering "memasok" petasan gratis kepada anak-anak. Ia sering memberi kami banyak petasan yang entah dari mana ia dapatkan. Kami tak tahu, tapi yang kami tahu kami senang sekali mendapatkan petasan-petasan itu. Semakin senang karena kami tak dimarahi tetangga saat menyulut petasan. Mungkin karena saat itu kampung belum sepadat sekarang.

Ramadan dahulu juga terasa istimewa karena saya menjumpai warung-warung di sekitar rumah membuka tirai dan pintunya seperti biasa. Sebuah warung di depan SD tempat kami sekolah tetap buka saat Ramadan. Begitu pula dua warung yang berada di dekat rumah.

Rasanya dulu saya tetap menjumpai warung-warung itu buka, meski jarang terlihat ramai saat puasa. Tak ada tetangga yang keberatan. Mungkin karena sesama warga kampung sehingga rasa pengertian yang tumbuh bisa mengatasi segala bentuk kekakuan.

Mungkin pula karena kami orang kampung sehingga kehidupan beragama kami bergulir tenang sebagaimana kami menjalani kehidupan sehari-hari. Orang kampung tak membutuhkan dalil rumit dan tak juga memusingkan interpretasi agama.

Orang kampung seperti kami beragama secara sederhana. Sesederhana menghormati sesama. Orang kampung yang mungkin saat bersalawat suaranya fals, tapi lembut saat menyapa sesamanya. Orang kampung yang tidak mengenal razia warung makan saat Ramadan.

Jika bisa memutar waktu, saya ingin mundur sebentar. Mundur untuk menengok dan merasakan lagi suasana Ramadan semasa kecil di kampung halaman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun