"Pedes, le?", lirih suaranya bertanya dan hampir tenggelam oleh deru laju kendaraan kalau saja saya tak duduk tepat di sampingnya.
Rupanya mbah Suti paham apa yang sedang saya rasa. Bahwa lidah saya sedang tersengat pedasnya bumbu pecel buatannya. Oleh karena itu ia lalu menambahkan kerupuk karak ke atas pincuk saya meski saya tak memintanya.Â
Bukan hanya sekali, tapi dua kali ia memberi saya tambahan karak. Padahal, dalam sepincuk pecel yang ia racik untuk saya sudah ditambahkan karak sebelumnya. Jadilah saya mendapatkan isi ulang karak yang lumayan banyak.
Memang karak yang renyah dan gurih itu bisa menenangkan lidah saya yang kelabakan mencari penawar rasa pedas. Bahkan, saya lebih dulu menghabiskan karak itu sebelum kemudian melahap pecel ndeso racikan mbah Suti.
Sudah 15 tahun mbah Suti berjualan pecel ndeso di tempat itu. Sebelumnya ia berpindah-pindah tempat. "Sejak masih muda", jawabnya ketika saya bertanya sejak kapan ia mulai menjajakan pecel ndeso.
Jumat pagi itu sebanyak 3 kg beras merah dibawanya. Pecel ndeso khas Solo yang autnetik memang menggunakan beras merah. Ini pula yang membedakan pecel ndeso dengan pecel pada umumnya.
Sementara sayurannya cukup beraneka rupa. Pecel ndeso mbah Suti menggunakan daun bayam, daun pepaya, bunga turi, bunga pisang, kecipir, mentimun, daun kemangi, kecambah, dan biji lamtoro.Â
Isian pecel yang penuh membuat saya perlu berhati-hati memegang pincuk daun pisang yang menjadi wadah sekaligus alas menyantap pecel. Untungnya sudah terbiasa saya makan dengan pincuk begini. Malah sempurna rasanya menyantap pecel dengan alas daun pisang.
Duduk di pinggir jalan dan berbagi tempat dengan beberapa pembeli lainnya juga tak mengurangi kenikmatan sarapan saya pagi itu. Hanya saja pada suapan pertama saya segera tersengat oleh pedasnya bumbu pecel racikan mbah Suti.Â