Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Cinta Beda Agama, Ke Mana Ujungnya?

16 Desember 2013   09:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:53 11649
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13871601061796627281

“Tuhan memang satu, kita yang tak sama”. Kalimat sederhana itu kedengarannya manis, tapi sesungguhnya menyimpan banyak cerita dari banyak manusia yang harus menerima kenyataan miris : “mengapa harus keyakinan memisah cinta kita?”.

Bukan, ini bukan  tentang Jonas dan Asmirandah. Saya tak kenal mereka dan tak merasa perlu memperhatikan kisah hidup mereka. Tapi cerita ini memang tentang asmara, tentang cinta sepasang manusia yang terhalang tembok bernama agama.

Cinta beda agama sedang sering jadi perbicangan anak-anak muda. Jalinan kasih beda agama juga banyak dimunculkan dalam sejumlah film. Novel dan cerpen bahkan sudah lama menjadikan cinta beda agama sebagai ruang tema. Para penyanyi dan pencipta lagu pun menjadikan kisah cinta ini sebagai sumber inspirasi. Yovie Widianto membuat lagu seri cinta beda agama yakni Nggak Ngerti (KAHITNA), Tia AFI (Adilkah Ini) dan Peri Cinta (Marcell)

Cinta memang tak pernah salah. Cinta juga bisa tumbuh kapan saja, di mana saja. Ia pun sering datang tanpa lebih dulu ketuk pintu hingga tiba-tiba saja mereka yang kejatuhan cinta seketika bahagia dan lupa. Lupa bahwa ada keadaan dan batas yang seringkali membuat cinta menjadi salah, bisa salah waktu, bisa juga salah keadaan. Cinta beda agama mungkin sebuah “cinta salah keadaan”.

Cinta beda agama juga menjadi kisah yang paling membuat orang susah lupa. Entah karena apa, mendengar beberapa cerita dari teman-teman yang pernah mengalaminya, cinta terhalang keyakinan begitu susah dilupakan dari ingatan mereka. Ada yang bilang terlalu pedih untuk menerima kenyataan pisah setelah banyak perjuangan yang dilalui demi mengalahkan perbedaan itu. Ada juga yang berkisah kalau melepas cinta karena beda keyakinan berkali-kali lipat lebih berat dibanding pisah cinta karena watak atau status sosial. Entah mengapa juga lagu-lagu tentang cinta beda agama jauh lebih galau dibanding lagu cinta perih lainnya. Tapi ada juga yang tak peduli, yang namanya cinta pokoknya harus bersama.

Saat jatuh cinta manusia memang kerap menunjukkan diri sebagai makhluk egois termasuk dalam memaksakan keadaan untuk berpihak pada mereka. Saat merasakan sayang pada pasangan atau calon pasangan, manusia mudah termakan dengan petuah bijak “jika sepasang manusia sudah saling mencintai, halangan terberat pun takkan tega menghampiri”.

Sayangnya saat jatuh cinta kita terlampau yakin pada petuah-petuah cinta itu. Padahal sebesar-besarnya cinta, pada akhirnya setiap manusia hanya menjalankan suratan Tuhan. Tak mungkin memaksakan takdir untuk menuliskan “Aku dan Dirimu”. Sebesar-besarnya kasih pada akhirnya sering ada batas yang terlalu besar untuk dilawan, terlalu tinggi untuk dilompati. Batas itu terlalu kuat untuk manusia kalahkan, terlalu jauh dari jangkauan manusia untuk menembusnya, yakni agama. Perbedaan memang membuat indah, karena beda kita jadi kuat. Tapi karena beda agama, cerita cinta pun sering harus berakhir parah meski sudah dijalani dengan indah.

Beberapa bulan lalu seorang adik angkatan di kampus mengutarakan curhatnya tentang seorang pria yang sedang ia senangi. Ceritanya sudah pernah saya sisipkan pada sebuah tulisan di Kompasiana beberapa bulan lalu. Usai pisah cinta dengan yang lama ia merasa menemukan bahagia yang baru bersama pria tersebut, meski ia tahu ada tembok nyata di antara mereka. Tembok itu adalah keyakinan.

Saat mendengar curhatnya saya lebih banyak tersenyum menyimak ekspresi orang yang sedang jatuh cinta. Tak banyak dari saya, hanya sedikit pendapat pribadi bahwa tembok di antara mereka itu sejatinya adalah sesuatu yang sangat nyata. Bahkan ketika ia melanjutkan curhatnya bahwa sang pria bersedia pindah agama jika mereka jadian, saya tetap tersenyum sambil mengingatkan sekali lagi bahwa tembok di antara mereka bukan sesuatu yang bisa diabaikan begitu saja oleh sebuah janji.

Pada adik tersebut saya lalu memberikan sebuah lagu KAHITNA yang berjudul Nggak Ngerti agar ia bisa mengerti bahwa ujung cerita cinta bisa jadi tak seindah dengan banyaknya hal manis yang terjadi ketika cinta itu tumbuh dan dijalani.

Tak berapa lama kemudian mereka jadian. Sementara tembok itu masih tetap ada. Beberapa kali melihat timeline twitternya, tampaknya ia senang menjalani kisah kasih barunya.

Dan kini saya baru tahu jika tak lama setelah mereka jadian saat itu, sang pria memutuskan berpindah agama. Akhirnya tembok itu bisa mereka lalui meski ujung cerita cinta tetap akan menjadi sebuah misteri bagi mereka. Nggak Ngerti.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun