Refleksi Berpikir
Melindungi Tanah dan nilai budaya dari globalisasi dan Pembangunan Teknokratik
_Gedung Bisa Berdiri, dan Akarnya Harus Mengizinkan_
Kalimat ini sering dikutip sebagai kritik terhadap pembangunan yang tidak berakar pada kesepakatan sosial. Namun, dalam konteks Proyek Strategis Nasional (PSN) perluasan lahan sawah di Jayawijaya, kutipan ini justru perlu dibaca ulang secara lebih jernih. Karena akar yang dimaksud bukan hanya adat dan budaya, tetapi juga nalar berpikir yang terbuka terhadap perubahan.
Belakangan ini ada aksi dari Mahasiswa yang menolak proyek PSN di Jayawijaya dengan asumsi bahwa proyek ini akan melibatkan militer dan transmigrasi, seperti di Merauke. Padahal, belum ada bukti bahwa pendekatan yang sama akan diterapkan.
Landasan penolakan nya mengacu pada pengalaman buruk di Merauke---militerisasi, transmigrasi, dan perampasan tanah adat. Namun, cara berpikir ini justru menunjukkan kekeliruan logika: menyamakan masa lalu dengan masa depan, dan menyamaratakan semua proyek pembangunan sebagai ancaman.
Jayawijaya padat penduduk dan setiap inci tanah memiliki makna. Itu benar. Tapi padatnya penduduk bukan alasan untuk menolak pembangunan, melainkan alasan untuk merancangnya dengan lebih hati-hati. Justru karena tanah di Papua Pegunungan bermakna, maka pembangunan harus dilakukan dengan pendekatan sosial, bukan dengan penolakan total.
Jika proyek ini dirancang bersama masyarakat, maka tidak ada alasan untuk melibatkan transmigrasi atau militer. Menolak proyek hanya karena "bukan wilayah belantara" adalah bentuk false dichotomy--- seolah-olah hanya ada dua pilihan: pembangunan militeristik atau tidak ada pembangunan sama sekali.
Menolak sebelum mendengar adalah bentuk fallacy of hasty generalization--- menyimpulkan sesuatu terlalu cepat berdasarkan pengalaman terbatas.
kritik adalah bentuk cinta. Tapi cinta juga berarti tanggung jawab. Mahasiswa harus bertanya: bagaimana proyek ini bisa berjalan tanpa melukai tanah adat? Bukan sekadar berkata: "Jangan bangun di sini."
 pentingnya kesepakatan sosial. Tapi kesepakatan tidak bisa terjadi jika dialog ditutup sejak awal. Menolak proyek hanya karena trauma masa lalu justru menutup peluang untuk membangun masa depan yang lebih adil dan kontekstual.
Mahasiswa adalah agen perubahan. Tapi perubahan tidak akan terjadi jika mereka hanya menjadi penyangkal. Menolak proyek tanpa menawarkan alternatif adalah bentuk aktivisme yang kehilangan arah. Jika mereka benar-benar peduli pada tanah adat, maka mereka harus terlibat dalam merancang proyek, bukan hanya menolaknya.