Antara Tanah Ulayat dan Kantor Pemerintahan: Urgensi Harmonisasi Regulasi di Papua Pegunungan
 Pengantar
> _"Tanah bagi orang Papua bukan sekadar tempat berdiri, melainkan tempat berpikir. Ia adalah ruang jiwa, ruang cerita, dan ruang untuk menghormati leluhur. Maka, membangun di atasnya bukan sekadar meletakkan batu pertama, tetapi menempatkan niat yang bisa diterima oleh hati banyak orang."_
> ---Penulis
Di bawah tanah dan gunung gunung itu bukan sekedar potongan sekat sekat,ia mempunyai asal terdapat juga aliran sungai di bawah sana,(pesan tetua adat masyarakat Baliem)
Pesan ini sering tersampaikan pada diskusi diskusi di honai, ini adalah perjanjian kekal yang secara turun temurun di teruskan, disampaikan dengan tujuan di terus ke generasi selanjutnyaÂ
Penulis memahami pesan ini sebagai
konsep Landasannya dalam berlogika tentang tanah dan gunung , tentang segala sesuatu yang ada di baliem
Bahwa tanah itu bukan sekedar tanah
Bahwa gunung itu bukan sekadar susunan batu
"bukan untuk di artikan dan simpulkan sekat sekat,
Ada cerita di balik cerita yang perluh di dalami
Secara ontologi relasional, epistemologi lokal, fenomena ruang hidup, dan kosmologi sosial, Â masyarakat Baliem dalam memahami tanah dan gunung sebagai ruang yang berjiwa, bukan sekadar ruang terukur.
Dan secara filsafat berpikir kritis, setiap perkara—termasuk soal pembangunan di atas tanah adat—harus ditelusuri dari hakikatnya (ontologi), dari sumber pengetahuannya (epistemologi), dan dari nilai-nilai yang dikandungnya (aksiologi). Maka ketika masyarakat adat mempertanyakan pembangunan yang berlangsung di atas tanah ulayat, itu bukan bentuk perlawanan semata—itu adalah sikap berpikir kritis yang sah.
Masyarakat adat memandang pembangunan bukan sebagai deretan batu dan sekat administrasi, melainkan sebagai arus relasi yang di kritisi Dalam skala lokal, nasional, hingga internasional, ruang tidak hanya dibangun dengan fondasi beton, tapi harus berakar.