Etika yang Menunduk: Ketika Tradisi Bertemu Zaman
Oleh: Hun Flocky(Wara,Sabtu,12 Juli)
Di Lembah Baliem, udara pagi masih membawa aroma alang-alang yang basah. Ketika Anda melangkah memasuki kampung adat masyarakat Hubula, satu etika langsung menyambut: Anda harus menunduk di gerbang masuk. Bukan karena gerbang rendah secara fisik, tetapi karena nilai yang tinggi secara moral. Gerbang itu dibuat rendah untuk mengajarkan bahwa setiap langkah ke dalam ruang adat harus didahului dengan kerendahan hati.
Honai dan Harmoni Tata Hidup
Setelah gerbang, Anda akan menjumpai lanskap sosial yang tertata secara simbolik. Di kiri berdiri honai panjang berbentuk persegi tempat perempuan dan anak-anak bercengkerama. Makanan disiapkan pertama untuk pria dewasa, kemudian untuk ternak---mengandung pesan tentang urutan tanggung jawab dan penghormatan sosial.
Di kanan berjejer honai bundar menyerupai telur, tempat tidur ibu dan anak. Di depan, honai bulat dengan atap kerucut berfungsi sebagai ruang tidur dan diskusi pria dewasa. Honai ini memiliki lantai atas yang berfungsi sebagai tempat tidur dan penyimpanan. Setiap bangunan honai bukan sekadar tempat tinggal, tetapi wujud struktur peran sosial dan spiritual yang menyatu dalam ritme kehidupan masyarakat Hubula.
Perubahan yang Datang Tanpa Dialog
Dahulu, interaksi sosial penuh dengan aturan tubuh dan ruang: perempuan yang berpapasan dengan pria dewasa menepi dan memalingkan pandangan, bukan karena takut, tetapi sebagai bentuk kesadaran akan tatanan dan hormat.
Perjodohan bukan bentuk paksaan, melainkan saluran komunikasi antar klan. Dalam sistem itu, janda dan duda hampir tak ditemukan, karena pernikahan dijaga kolektif. Namun kini, arus modernisasi dan regulasi baru tentang mas kawin mulai merubah wajah adat. Biaya yang dulu dinegosiasikan secara adat kini menjadi angka mutlak yang diputuskan dari luar. Hal ini melahirkan status baru yang dulu tak dikenal: janda, duda, dan pernikahan yang berakhir sebelum sempat bertumbuh dalam sistem sosial.
Ketegangan antara Zaman dan Akar