KRISIS IDENTITAS EKONOMI DI JAYAWIJAYA: ANTARA KEMAJUAN DAN KEHANCURAN, ANTARA PASIF DAN KRITIS
Oleh : Hun Flocky
Ditulis untuk refleksi dan advokasi
Di Persimpangan Arah dan Akar
Jayawijaya (Lembah Baliem) adalah rumah bagi tanah yang subur, budaya yang luhur, dan masyarakat yang selama berabad-abad hidup selaras dengan alam. Namun kini, wilayah ini berada di persimpangan antara mempertahankan akar atau mengejar arah baru yang belum tentu sesuai. Di tengah pembangunan infrastruktur dan pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB), muncul satu gejala yang tak kasatmata namun sangat menentukan: cara berpikir yang terdistorsi.
Distorsi Cara Berpikir: Ketika Arah Pembangunan Tak Lagi Berakar
Distorsi ini bukan sekadar salah paham, melainkan pergeseran nilai kolektif yang membuat masyarakat---dan bahkan pemerintah---mulai mengukur kemajuan dengan parameter luar: gedung, jalan, jabatan, dan konsumsi. Beberapa bentuk distorsi yang kini tampak nyata:
Menganggap desa sebagai tempat yang harus ditinggalkan, bukan dikembangkan.
Melihat profesi petani, pengrajin, dan nelayan sebagai simbol keterbelakangan, bukan kekuatan ekonomi lokal.
Mengukur keberhasilan dari seberapa banyak bantuan diterima, bukan dari seberapa mandiri komunitas bisa bertahan.
Mengabaikan pendidikan berbasis budaya, padahal sekolah adat seperti di Sumunikama telah membuktikan bahwa identitas bisa menjadi fondasi masa depan[1].