Seiring berkembangnya teknologi finansial, masyarakat Indonesia semakin terbiasa hidup tanpa dompet tebal berisi uang tunai. Kini, hampir semua transaksi bisa dilakukan dengan QRIS, mobile banking, atau e-wallet. Praktis, cepat, dan efisien. Namun, di balik kenyamanan itu, ada satu hal penting yang harus selalu kita ingat: "Rupiah adalah Simbol Martabat Bangsa". Rupiah bukan sekadar alat tukar, melainkan representasi kedaulatan ekonomi dan identitas nasional. Ketika kita menjaga rupiah, sejatinya kita sedang menjaga kehormatan Indonesia.
Rupiah sebagai Simbol Kedaulatan
Rupiah mempunyai kedudukan istimewa di Indonesia. Hal tersebut ditandai dengan adanya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang menegaskan mengenai kewajiban setiap orang agar menggunakan rupiah dalam transaksi di wilayah NKRI. Hal ini menandakan bahwa rupiah tidak hanya bernilai ekonomi, tetapi juga bernilai politis dan ideologis.
Meski demikian sangat disayangkan bahwa, kesadaran masyarakat terhadap hal ini belum sepenuhnya kuat. Masih ada praktik penggunaan mata uang asing di daerah wisata, maraknya pemalsuan uang, hingga kecenderungan menganggap rupiah kalah "gengsi" dibanding dolar atau euro. Berbicara tentang pemalsuan Rupiah, dapat dilihat dari laporan yang dikutip dari Bank Indonesia, bahwa pada bulan Maret 2024, menjelang Lebaran terdapat penemuan uang palsu, sebanyak 1.077 lembar pecahan Rp 100.000, atau senilai sekitar Rp 107,7 Miliar.
Terlebih di era digital, tantangan tersebut semakin kompleks. Rupiah kini tidak hanya hadir dalam bentuk fisik (lembaran uang), tetapi juga dalam bentuk digital. Hal tersebut membuka peluang besar sekaligus ancaman baru.
Adapun Tantangan Rupiah di Era Digital, yaitu:
1. Pemalsuan dalam bentuk baru
Dulu, pemalsuan rupiah identik dengan percetakan uang kertas palsu. Kini, ancaman lebih beragam, seperti manipulasi transaksi, phishing, pencurian data, hingga penipuan melalui aplikasi keuangan. Kejahatan cyber semacam ini bisa merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem pembayaran digital yang berbasis rupiah.
2. Ketergantungan pada sistem global
Sebagian infrastruktur pembayaran digital masih terhubung dengan sistem asing. Jika ketergantungan ini berlebihan, maka kedaulatan rupiah bisa terganggu. Misalnya, jika masyarakat lebih nyaman menyimpan uang dalam bentuk dolar digital atau aset kripto, rupiah akan kehilangan daya tariknya sebagai instrumen utama transaksi.