Mohon tunggu...
Kris Wantoro Sumbayak
Kris Wantoro Sumbayak Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Memberi Hadiah pada Guru Boleh, Asal Bukan Udang di Balik Batu

30 Juni 2022   11:16 Diperbarui: 1 Juli 2022   19:00 1061
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi memberikan hadiah. (Sumber: FREEPIK/JCOMP via kompas.com) 

Adakah yang lebih memalukan bagi orang tua selain anaknya tidak naik kelas, atau tidak lulus? Orang tua menyekolahkan anak sambil menitipkan cita-cita, agar anaknya meraih kehidupan lebih baik dari mereka. Jika tidak naik, artinya gagal/ terhambat meraih impian.

Minggu ini para murid masih menikmati liburan akhir semester. Sedangkan para guru sudah masuk kantor untuk evaluasi program, membuat program kerja serta mencerna menu kurikulum terbaru, Kurikulum Merderka.

Sebelum libur, sudah dilakukan pembagian rapor kepada orang tua/ wali murid. Berbeda dengan rapor tengah semester atau akhir semester I, rapor akhir tahun lebih menegangkan bagi orang tua. Apakah anaknya naik atau tidak? Bagaimana kalau tidak, betapa malunya!

Seperti pembuka pada artikel ini, bagi orang kebanyakan anak tidak naik kelas adalah memalukan. Untuk menghindari hal itu, maka berbagai cara dilakukan orang tua. Memberikan bermacam-macam les tambahan, meminta anak duduk di bangku depan, membatasi penggunaan gadget, dan jurus terakhir memberi hadiah kepada guru. (Trennya mungkin berganti.)

Apa hubungannya memberi hadiah pada guru dengan kenaikan kelas? Secara psikis, jika guru menerima suatu pemberian/ hadiah bakal sungkan jika tidak menaikkan anak. Apalagi kalau hadiahnya materi bernilai tinggi. Istilahnya, lu jual gue beli. Jika begitu, tidak profesional namanya.

Padahal pemberian rapor oleh guru kepada orang tua adalah tindakan profesional. Isinya presentase dari tes dan tugas harian yang dikerjakan murid. Jika memenuhi kualifikasi (misalnya nilai melampaui KKM, bersikap sopan dan disiplin), bakal naik kelas. 

Jika tidak memenuhi, ya jangan harap naik kelas. (Kelak, anak bakal lebih dimerdekakan dalam Implementasi Kurikulum Merdeka, bukan ditentukan sepenuhnya dari nilai angka.)

Dari rapor tengah semester dan semester I harusnya orang tua dan anak bisa menganalisis, apakah anaknya punya kapabilitas untuk naik kelas atau tidak. 

Menjadi masalah, jika orang tua bahkan tidak tahu apa dan bagaimana perkembangan belajar anaknya. Terlalu sibuk bekerja, menuntut anaknya beres oleh pihak sekolah.

Aku heran dengan pemberitaan di kalangan orang tua bahwa anak diisukan tidak naik kelas. Dari mana mereka tahu informasi itu? Dari pihak guru, orang tua, atau orang dalam?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun