Mohon tunggu...
Suwandari
Suwandari Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa uin sts jambi

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Jejak Pemikiran Imam Ghozali dalam Tasawuf Nusantara

21 September 2025   14:57 Diperbarui: 21 September 2025   14:57 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Imam Abu Hamid Al-Ghazali (Hujjatul Islam), atau yang lebih dikenal sebagai Imam Ghozali, adalah salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah pemikiran Islam. Pemikirannya tidak hanya mengakar kuat di dunia Timur Tengah, tetapi juga menjalar jauh ke wilayah Islam lainnya, termasuk Nusantara. Salah satu warisan intelektualnya yang paling terasa pengaruhnya adalah dalam bidang tasawuf. Imam Ghozali berhasil menyatukan antara syariat (hukum lahiriah) dan hakikat (dimensi batin), sehingga tasawuf tidak dianggap menyimpang, tetapi justru menjadi puncak dari perjalanan spiritual dalam Islam.

Tasawuf Nusantara yang tumbuh dan berkembang sejak abad ke-13 menunjukkan warna yang khas: moderat, akomodatif terhadap budaya lokal, dan menekankan spiritualitas yang seimbang antara syariat dan hakikat. Ciri ini sangat selaras dengan pendekatan tasawuf Imam Ghozali, yang berusaha memadukan jalan sufi dengan prinsip-prinsip syariah. Ajaran tasawuf yang berkembang di bumi Nusantara bukanlah bentuk tasawuf yang ekstrem atau menjauh dari kehidupan sosial, melainkan tasawuf yang membumi dan menyentuh kehidupan masyarakat secara langsung.

Tasawuf Nusantara tidak hanya menekankan aspek batiniah dalam beragama, tetapi juga menjadi sarana dakwah yang efektif dalam menyebarkan Islam secara damai di tengah masyarakat yang majemuk. Dengan pendekatan yang lembut dan penuh kearifan lokal, ajaran tasawuf disampaikan melalui media seni, budaya, dan tradisi masyarakat setempat, seperti tembang, wayang, dan upacara adat. Para sufi di Nusantara tidak menolak budaya leluhur, melainkan mengislamkan dan memberi makna spiritual terhadapnya. Pendekatan ini mencerminkan nilai-nilai universal tasawuf seperti kasih sayang, toleransi, dan pembersihan jiwa, yang juga diajarkan oleh Imam Ghozali dalam karya-karyanya. Karena itu, tasawuf Nusantara berkembang bukan sebagai aliran yang kaku, melainkan sebagai gerakan spiritual yang hidup dan membumi.

Imam Ghozali dalam karya besarnya Ihya' Ulumuddin menekankan pentingnya pembersihan jiwa (tazkiyatun nafs), muhasabah (introspeksi diri), dan mendekatkan diri kepada Allah dengan ilmu dan amal. Pemikiran ini kemudian menginspirasi banyak ulama di Nusantara, termasuk tokoh-tokoh tarekat seperti Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, dan Hamzah Fansuri. Mereka tidak hanya menyebarkan Islam secara formal, tetapi juga menanamkan nilai-nilai sufistik yang penuh cinta, toleransi, dan kearifan lokal.

Jejak pemikiran Imam Ghozali terlihat jelas dari cara para wali menyampaikan ajaran Islam. Mereka tidak menolak budaya lokal, melainkan mengislamkan nilai-nilai yang ada dan memberikan makna spiritual yang lebih dalam. Hal ini selaras dengan prinsip Imam Ghozali yang tidak ekstrem dalam pendekatannya, tetapi memilih jalan tengah (wasathiyah), yang justru menjadi kekuatan utama yang cocok dalam tasawuf di Nusantara.

Peran pesantren sebagai pusat pendidikan Islam di Nusantara turut menjadi media penting dalam menyebarkan pemikiran tasawuf Imam Ghozali. Banyak pesantren tradisional yang menjadikan karya-karya beliau, terutama Ihya' Ulumuddin, sebagai bahan kajian utama dalam mendidik santri, khususnya dalam bidang akhlak dan tasawuf. Melalui kitab tersebut, nilai-nilai sufistik seperti keikhlasan, kesabaran, tawakal, dan pentingnya introspeksi diri ditanamkan sejak dini. Tidak hanya dalam bentuk teori, ajaran itu juga dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari santri, mulai dari tata cara ibadah hingga adab terhadap guru dan sesama. Dengan demikian, pesantren berperan besar dalam menjaga kesinambungan warisan intelektual dan spiritual Imam Ghozali di tengah masyarakat Indonesia.

Di tengah arus modernisasi yang seringkali hanya menekankan aspek intelektual dan materi, pendidikan spiritual ala Imam Ghozali menjadi sangat penting untuk menjaga keseimbangan hidup. Ajaran tasawuf yang menekankan dimensi batin, pengendalian hawa nafsu, serta kedekatan kepada Tuhan, menjadi benteng dari krisis moral dan kegersangan jiwa yang banyak dialami generasi saat ini. Oleh karena itu, menggali kembali tasawuf Nusantara yang bersumber dari pemikiran Imam Ghozali bukan sekadar nostalgia intelektual, melainkan merupakan kebutuhan zaman. Di era ketika teknologi semakin canggih namun manusia semakin hampa, tasawuf menjadi jalan sunyi yang menawarkan kedamaian dan makna sejati dalam hidup.

Di era digital dan globalisasi saat ini, tantangan spiritual semakin kompleks. Banyak orang merasa kehilangan arah, terjebak dalam rutinitas materialistik yang hampa makna. Di sinilah pentingnya kembali menggali warisan tasawuf Nusantara yang bersumber dari pemikiran Imam Ghozali. Melalui pendekatan yang lembut, mendalam, dan penuh hikmah, tasawuf mampu menawarkan ketenangan batin, memperkuat nilai-nilai kemanusiaan, serta mempererat hubungan antara manusia dan Tuhan. Maka, mempelajari dan mengamalkan tasawuf ala Imam Ghozali bukan hanya bagian dari pelestarian warisan intelektual Islam, tapi juga solusi bagi krisis spiritual zaman ini.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun