Mohon tunggu...
Wanda Alfita
Wanda Alfita Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Psikologi Universitas Pendidikan Indonesia

Book and technology enthusiast. love to eat and travel.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Bukan Trauma Healing: Layanan Dukungan Psikososial Pasca Terjadinya Bencana

9 Januari 2023   09:00 Diperbarui: 9 Januari 2023   09:03 794
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Earthquake Photo by https://unsplash.com 

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terletak di antara Benua Asia dan Benua Australia serta Samudera Hindia dan Samudra Pasifik. Dibalik keindahan alam yang luar biasa, Indonesia juga merupakan wilayah yang termasuk kedalam ring of fire yang memiliki kurang lebih 129 gunung api aktif dan berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik aktif dunia yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia, serta Pasifik. 

Kondisi tersebut membuat Indonesia sangat berpotensi mengalami bencana alam seperti gempa bumi dan letusan gunung api. Disamping itu, Indonesia memiliki iklim tropis dan kondisi hidrologis yang dapat memicu bencana alam lainnya seperti banjir, tanah longsor, angin puting beliung, dan lainnya.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan sejumlah bencana di berbagai wilayah Indonesia sepanjang tahun ini, hingga 2 November 2022 telah terjadi sebanyak 3.052 peristiwa bencana alam yang terdiri atas 1.257 kali bencana banjir, 932 kejadian cuaca ekstrem, 566 kejadian tanah longsor, dan 250 kebakaran hutan dan lahan (karhutla), 22 kejadian gempa bumi dan gelombang pasang/abrasi, serta 4 kejadian kekeringan. 

Provinsi yang mengalami kejadian bencana alam terbanyak adalah Jawa Barat, yakni sebanyak 735 kejadian, diikuti oleh Jawa Tengah 413 kejadian, dan Jawa Timur 338 kejadian. 

Dampak yang ditimbulkan oleh bencana ini yaitu sebanyak 3,94 juta orang terpaksa mengungsi, 202 orang meninggal dunia, 843 orang luka-luka, dan 29 orang hilang. 

Selain itu, bencana juga mengakibatkan 32.918 rumah rusak, dengan rincian 5.421 rumah rusak berat, 5.776 rusak sedang, dan 21.721 rusak ringan. Sebanyak 917 fasilitas umum juga dilaporkan mengalami kerusakan, yang terdiri dari 520 fasilitas pendidikan rusak, 321 fasilitas peribadatan rusak, dan 76 fasilitas kesehatan rusak.

Selain dapat menimbulkan kerusakan fisik-material, bencana juga dapat berpotensi menimbulkan gangguan psikologis bagi para penyintas. Penyintas sangat mungkin dilanda keputusasaan dalam situasi tidak normal saat bencana karena merasa ketakutan, kehilangan tempat tinggal dan sanak saudara, serta kadang merasa tidak berdaya menjalani masa-masa pascabencana. Oleh karena itu, selain bantuan logistik juga diperlukan intervensi dalam hal pemulihan gangguan psikologis melalui layanan dukungan psikososial (LDP).

Layanan dukungan psikososial (LDP) kerap dikenal dengan istilah “trauma healing”. Namun, penggunaan kata “trauma healing” tidak sepenuhnya tepat.  Trauma healing berarti bahwa orang tersebut sudah mengalami trauma sehingga perlu diberikan konseling atau terapi agar sembuh (Cahyono, 2013). 

Sementara dalam situasi bencana, pendekatan yang lebih diutamakan dalam pemulihan psikologis terhadap penyintas berupa mengembalikan potensi yang dimiliki dan dapat dilakukan oleh komunitas itu sendiri bukan penanganan klinis individual (penyembuhan). 

Jika kata trauma dalam kaitannya dengan kejadian bencana merujuk pada perasaan sedih, takut, cemas, khawatir, terbayang kejadian yang tidak menyenangkan, sulit tidur, menarik diri, menjadi pendiam, pemurung dan sebagainya yang mewakili sesuatu tidak nyaman atau tidak menyenangkan yang di alami penyintas. 

Hal tersebut belum tentu dapat dikatakan individu itu mengalami gangguan trauma karena reaksi dirasakan saat mengalami situasi sulit atau bencana merupakan reaksi normal atau reaksi yang wajar dialami (Cahyono, 2013).

Dalam ilmu kesehatan jiwa dan psikologi, trauma merupakan penyingkatan dari istilah Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) atau gangguan stres pasca trauma. Untuk menegakkan diagnosa seseorang mengalami trauma, dalam DSM V, minimal ada enam kriteria yang harus terpenuhi. 

Salah satunya adalah bahwa gejala‐gejala tersebut terjadi minimal dalam satu bulan. Sementara, ketika dalam situasi bencana, apabila terdapat penyintas yang baru saja beberapa hari mengalami kejadian bencana sudah melaporkan bahwa dirinya trauma. Hal tersebut belum bias dikatakan penyintas mengalami trauma secara psikologis.

Untuk itu istilah “trauma healing” ini alangkah lebih baik diganti menjadi “dukungan psikososial”. Dukungan psikososial adalah semua bentuk kegiatan yang berfokus untuk menguatkan faktor resiliensi (aspek psikologis) dan relasi sosial individu dengan lingkungannya (aspek sosial). 

Dukungan psikososial pasca bencana merupakan dukungan yang diberikan untuk memulihkan kesejahteraan psikologis dan sosial dari komunitas yang terkena bencana. 

Tujuan dukungan psikososial adalah mengembalikan individu atau keluarga atau kelompok pasca kejadian tertentu (bencana alam maupun bencana sosial) sehingga menjadi kuat secara individu atau kolektif (berfungsi optimal, memiliki ketangguhan dalam menghadapi masalah), serta menjadi berdaya dan produktif dalam menjalani hidupnya.

Pada dasarnya, setiap individu membutuhkan dukungan, apalagi dalam situasi tidak normal dan tertekan seperti dalam situasi bencana. Ketika mereka merasa kehilangan, maka saat itulah mereka butuh perhatian mendengarkan keluh kesahnya. Kelompok yang perlu mendapatkan perhatian khusus dalam dukungan psikososial disebut dengan kelompok rentan. Kelompok ini adalah korban yang diprioritaskan untuk penanganan terlebih dahulu seperti lansia, anak-anak, dan ibu hamil.

Adapun bentuk-bentuk dukungan psikososial yang dapat diberikan kepada penyintas seperti Psychological First Aid (PFA), terapi ekspresif, dan konseling. Misalnya, anak-anak bisa diajak terapi ekspresif dengan menulis, bernyanyi, atau dengan cara play therapy. Layanan dukungan psikososial (LDP) yang diberikan tidak boleh lepas dari kearifan lokal setempat karena konsep LDP ini adalah memberikan simulasi atau motivasi-motivasi bagi para penyintas agar mereka segera pulih ke kehidupan secara normal serta juga harus memperhatikan usia penyintas karena dukungan sosial yang diberikan kepada anak-anak akan berbeda dengan remaja, begitu seterusnya.

Berikut prinsip dasar Psychological First Aid (PFA) yaitu, lihat (look), dengarkan (listen), beri rasa nyaman (comfort), hubungkan (link), lindungi (protection), beri harapan realistis (installing hope). PFA dapat diterapkan dan bisa diberikan oleh siapapun sesegera mungkin ketika pertama kali kontak dengan penyintas dalam keadaan tanggap darurat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun