Beralih status dari berbagai kasus bukan menambah status pengangguran, keluyuran, jalan-jalan, penuhi kepuasan diri. Tidak pernah berpikir untuk beralih status, merasa nyaman dengan membuat berbagai kasus. Malam dibuat siang, siang dibuat malam. Merayap di tepi jalan seolah-olah jalanan jadi istana kemewahan bahagia hingga tak mau beranjak dari status pengangguran jalanan.
Wita tak lagi muda, berputar searah jam kehidupan. Wita gemar dengan jalanan yang mana status diri sebagai penguasa jalan. Kota Kembang kota seribu bunga, menebar keharuman menusuk kepribadian yang kurang dipedulikan. Wita bagai bunga mawar tumbuh mengeluarkan bunga mawar walau ada di antara duri kehidupan. Pribadi Wita senyum tulus di raut wajah, menangis dalam hati. “Kenapa status jalanan ini ku sandang?” tak pernah ada yang tahu apa kerinduan Wita, apa impian Wita, apa yang menjadi target untuk mengubah stastus kehidupan.
“Hai gadis bersenyum manis walau lebih sering sadis.” Juan menyapa.
“Ah, ngak asik tu gelar yang kau beri.” Jawab Wita.
“Gelar yang mana?” sanggah Juan.
“Bersenyum manis walau lebih sering sadis. Lihat ni, wajah ku manis tanpa meringis.” Wita berupaya menenangkan diri walau ada benarnya apa yang dikatakan oleh Juan.
“Wita teman sependeritaan, walau belum pernah tidur berduaan.” Juan mulai dengan kalimat-kalimat pujangga pamungkas. Biasanya jika Juan mengucapkan kalimat ini berarti ada kegalauan atau resah yang mendalam dalam dirinya.
“Hai, pujangga kesiangan. Ada angin apa gerangan di benakmu sehingga dirimu mengucapkan kalimat itu?” dahi Wita berkerut ingin tahunya tulus sebagai seorang sahabat yang mengerti kelemahan Juan.
“Tadi malam sewaktu ngamen di dalam bus Parahyangan ada bisikan halus yang menggugah jiwaku.” Juan menundukkan kepala seraya mencoba menghitung debu yang dia taburkan. “Juan, gelisah sih gelisah tapi tidak harus menghirup debu kali di siang hari gini.” Wita mencoba menghindar dari debu yang diterbangkan angin. “Bisikan ? aneh kamu Juan.” Wita melanjutkan pernyataannya. “Ganteng-ganteng dan cantik masa cari hidup di jalanan gini? Suara lirih salah seorang penumpang mungil malam tadi.” Juan menerangkan.
“Penumpang mungil?” Wita mencoba mengingat penumpang mungil di dalam bus Parahyangan. “Sudahlah memang kita dihidupi jalanan. Mau tidak mau harus terima setiap cibiran pengguna jalanan. Dewasa dong, Juan.” Wita mencoba menenangkan pikiran Juan. Juan menjelaskan kegelisahannya, “Yang membuatku gelisah adalah kapan berhenti mendengar pernyataan seperti itu?” secara spontan Wita menjawab, "Disaat kamu memilih keluar dari jalanan. Pada saat itulah kamu keluar dari cibiran atau ejekan yang memilukan.” Pernyataan Wita bagai sebilah pisau yang menusuk jantung Juan.
Terdiam dalam pikiran masing-masing, musik jalanan terdengar menemani alur pikiran Wita dan Juan. Mobil lalu lalang, motor berkejaran di terik mentari jadi tontonan gratis buat Wita dan Juan. “Andaikan aku dulu rajin sekolah, menghargai nasihat Mama mungkin aku bukan anak jalanan sekarang ini. Mungkin statusku guru, atau insinyur. Sesal dahulu pendapatan sesal kemudian tak ada guna. Hai langit, bumi kenapa aku terlahir tidak sesempurna dirimu?” hati kecilku menyusun frase mengungkit makna yang seorang pun tak mendengar. Wita memandangku, sahabat jalanan yang ku kenal beberapa tahun lalu.