Usiaku baru tiga puluh, lahir di sebuah desa kecil di Bantul, Yogyakarta. Dulu, sepuluh ekor ayam milik ayah mati mendadak, katanya karena virus. Dari situlah aku mulai jatuh cinta pada mahluk tak kasat mata---mikroba, bakteri, virus---yang sunyi tapi mampu mengguncang dunia. Rasa ingin tahu itulah yang akhirnya menyeretku ke planet merah ini, Koloni Mars X-1.
Aku ditempatkan di Camp Hellas Planitia sebagai ahli astrobiologi. Tugasnya sederhana, tapi berat: mencari jejak kehidupan Mars kuno. Kadang aku merasa sedang hidup ulang kisah pewayangan. Seperti Werkudara yang diperintah Batara Guru mencari air kehidupan, aku pun mencari jejak kehidupan di tanah asing yang kering ini.
Hari ke-10 sol---empat belas hari waktu Bumi---aku sudah menyiapkan seluruh instrumen laboratorium. Saatnya turun ke lapangan. Roverku, sebuah Cybertruck yang dimodifikasi untuk atmosfer Mars, berderit pelan saat mesin dinyalakan. Debu merah bata berputar-putar di udara tipis.
Di kursi samping, Selma---AI asistenku---menemaniku. Suaranya datar namun hangat, memandu ke titik-titik potensial biosignature. Beberapa kali ia menyuruhku berhenti. Lengan robot rover menancapkan bor, menusuk tanah sedalam setengah meter, lalu mengunci sampel ke wadah steril.
Hingga kami tiba di sebuah bukaan gua. Debu merah beterbangan, menari seperti tirai tipis. Lalu---mataku terpaku. Dari dalam kegelapan gua, sekelebat bayangan. Seperti... seseorang melambaikan tangan.
"Selma, pindai sektor gua," perintahku, suara tercekat.
"Tidak terdeteksi anomali, Doktor," jawabnya tenang.
Aku mengedip, menahan napas. Hanya debu. Hanya halusinasi, pikirku. Meski jantung masih berdebar, aku menyalakan bor lagi, mengambil sampel dari tanah dekat mulut gua.
Di markas, aku menyiapkan slide di bawah mikroskop. Sampel terakhir---dari gua itu---membuatku terhenti. Ada sesuatu... bergerak. Tidak sekadar bentuk sel biasa. Ia bergetar, seakan sadar sedang diperhatikan. Bentuknya mirip bakteri ekstremofil, tapi tidak identik dengan apa pun yang pernah kulihat di Bumi.
"Kemungkinan kontaminasi?" pikirku. Tapi semakin lama kupandangi, semakin nyata perbedaannya. Dinding selnya berkilau, seolah memantulkan cahaya merah Mars.
Aku menarik napas panjang. Jika benar ini organisme asli Mars... maka koloni ini bukan sekadar rumah baru bagi manusia. Bisa jadi kita telah membangunkan penghuni lama---dan mungkin predator sejati planet merah ini.