Refleksi dari era Reformasi juga mengingatkan bahwa kebebasan informasi tanpa literasi digital melahirkan banjir hoaks. Penelitian menunjukkan bahwa rendahnya literasi digital, akibat keterbatasan infrastruktur, pendidikan, dan kesadaran etika yang memicu kerentanan terhadap disinformasi (Afrina, Zulaikha, & Jumila, 2024; Musa, Nurhayati, & Wasliman, 2025).
Bahkan, studi terbaru menemukan pemilih pemula di Indonesia masih terjebak dalam echo chamber algoritmik yang memperkuat bias informasi politik (Vinalti et al., 2024), sementara disinformasi berbasis AI menuntut regulasi hukum yang lebih kuat di tingkat nasional maupun global (Marushchak, Petrov, & Khoperiya, 2025). Oleh karena itu, literasi digital berbasis etika harus menjadi bagian integral dari peta jalan Indonesia Emas 2045, agar masyarakat mampu menilai, memproduksi, dan menyebarkan informasi secara kritis dan bertanggung jawab.
Ekonomi Syariah 4.0: Belajar dari Malaysia & Timur Tengah
Selain faktor demografi dan digitalisasi, pilar penting menuju Indonesia Emas adalah ekonomi syariah. Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi besar menjadi pusat keuangan dan industri halal global. Pada 2022, ekonomi syariah global mencapai nilai US$2,8 triliun, dan diproyeksikan tumbuh hingga US$5,9 triliun pada 2030 (DinarStandard, 2022).
Malaysia adalah contoh negara yang berhasil mengembangkan industri halal sebagai bagian dari strategi nasional. Melalui Halal Industry Masterplan dan insentif pemerintah, Malaysia kini menjadi salah satu hub keuangan syariah terbesar dunia, dengan pangsa pasar 25% sukuk global (Islamic Financial Services Board, 2022). Sementara itu, Dubai dan Qatar menunjukkan bagaimana negara berbasis SDA mampu mendiversifikasi ekonomi melalui keuangan syariah, investasi hijau, dan inovasi fintech berbasis prinsip keadilan.
Indonesia telah menunjukkan kemajuan dengan meluncurkan Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia (MEKSI) 2019--2024. Namun, implementasi masih menghadapi tantangan: dominasi ekonomi konvensional, rendahnya literasi keuangan syariah, dan lemahnya integrasi digital. Jika dikaitkan dengan visi Indonesia Emas 2045, ekonomi syariah dapat menjadi arus utama (mainstream) apabila terintegrasi dengan teknologi digital, seperti fintech syariah yang saat ini masih menghadapi kendala regulasi, literasi, dan kualitas SDM (Surbakti & Nurzaman, 2025).
Lebih jauh, inovasi halal blockchain melalui smart sukuk terbukti mampu meningkatkan transparansi, efisiensi, serta akses pasar keuangan Islam secara global (Mousavi, Tohidinia, & Mousavi, 2025). Selain itu, penguatan Islamic green finance dan integrasinya dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) memberi peluang untuk menjadikan keuangan syariah sebagai instrumen utama pembangunan berkelanjutan Indonesia (Iskandar & Usman, 2025; Ivanka, Siregar, & Dharmawan, 2025).
Dengan demikian, apabila pemerintah, regulator, dan pelaku industri mampu membangun ekosistem digital syariah yang inklusif dan inovatif, Indonesia berpotensi memperkuat identitas globalnya sebagai pusat ekonomi syariah dunia pada 2045.
Konektivitas Nusantara: Belajar dari Uni Eropa & Sejarah Indonesia
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari 17.000 pulau, namun pembangunan historisnya sering bersifat Jawa-sentris. Pada era Orde Baru, meski pertumbuhan ekonomi tinggi, ketimpangan wilayah meningkat tajam. Indeks Gini naik dari 0,32 pada 1990 menjadi 0,41 pada 1998, menandakan kegagalan distribusi pembangunan (World Bank, 2003).
Sebagai pembanding, Uni Eropa (UE) menghadapi tantangan serupa berupa kesenjangan antara Eropa Barat dan Timur. Melalui program Cohesion Policy dan European Regional Development Fund, UE berhasil meningkatkan konvergensi ekonomi antarwilayah, sehingga integrasi politik dan ekonomi dapat berjalan stabil (Bachtler et al., 2017).