Kisah Nuh bukan sekadar cerita banjir besar atau hewan-hewan berpasangan yang masuk kapal. Ia adalah kisah manusia --- tentang kesombongan, penolakan, dan kesadaran yang datang terlambat.
Bayangkan suasana di masa itu.
Langit mungkin masih cerah, sawah hijau, pasar ramai, dan anak-anak berlari di ladang. Belum ada tanda-tanda hujan besar. Lalu, di tengah kesibukan itu, muncul seorang lelaki tua yang membangun kapal besar di atas tanah kering. Orang-orang tertawa. Mereka menganggapnya gila.
"Mana mungkin ada banjir di sini? Matahari bersinar setiap hari!"
Tapi Nuh tetap memalu papan demi papan, dengan iman sebagai bahan bakarnya.
Ketika Nasihat Dianggap Gangguan
Masyarakat di zaman Nuh sudah terbiasa hidup nyaman. Mereka punya teknologi dan budaya yang maju pada masanya --- tapi kehilangan arah moral. Mereka lebih sibuk membangun nama sendiri daripada mendengarkan suara hati. Nuh menasihati mereka, tapi nasihat dianggap gangguan, bukan penyelamatan. Mereka menertawakan apa yang tidak mereka pahami.
Bukankah itu mirip dengan hari ini?
Kita hidup di zaman paling modern dalam sejarah manusia. Teknologi ada di genggaman tangan, informasi mengalir cepat, pendidikan merata. Tapi manusia modern sering kali sama: merasa cukup tahu segalanya, hingga menutup telinga dari kebijaksanaan.
Kita sering menertawakan hal-hal yang tidak masuk logika kita, sama seperti masyarakat yang menertawakan kapal Nuh di tengah padang.
Kapal Nuh: Lambang Ketaatan di Tengah Kesombongan
Kapal Nuh bukan hanya simbol keselamatan fisik, tapi juga ketekunan spiritual. Nuh tidak membangun kapal dalam sehari. Butuh waktu puluhan, bahkan ratusan tahun. Sementara dunia di sekitarnya semakin bejat, Nuh tetap bekerja --- diam-diam, tekun, sabar.
Ia tahu, hujan belum datang, tapi ketaatan tidak butuh bukti dulu untuk dijalani.
Hari ini, banyak orang kehilangan nilai itu. Kita hidup di era instan: ingin sukses cepat, viral cepat, kaya cepat, bahkan "selamat" dengan cara cepat. Padahal, iman --- seperti kapal --- dibangun dari kesabaran dan ketaatan yang panjang.
Banjir Dulu Air, Banjir Kini Nilai
Banjir di zaman Nuh menenggelamkan dunia dengan air. Banjir di zaman sekarang menenggelamkan nurani dengan nilai-nilai yang rusak.
Banjir informasi tanpa kebijaksanaan.
Banjir popularitas tanpa karakter.
Banjir keinginan tanpa kendali.