Mohon tunggu...
Wahyudi Adiprasetyo
Wahyudi Adiprasetyo Mohon Tunggu... Sang Pena Tua

Pena tua memulung kata mengisi ruang literasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kapal Nuh di Masa Kini

12 Oktober 2025   13:47 Diperbarui: 12 Oktober 2025   13:47 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kisah Nuh bukan sekadar cerita banjir besar atau hewan-hewan berpasangan yang masuk kapal. Ia adalah kisah manusia --- tentang kesombongan, penolakan, dan kesadaran yang datang terlambat.

Bayangkan suasana di masa itu.
Langit mungkin masih cerah, sawah hijau, pasar ramai, dan anak-anak berlari di ladang. Belum ada tanda-tanda hujan besar. Lalu, di tengah kesibukan itu, muncul seorang lelaki tua yang membangun kapal besar di atas tanah kering. Orang-orang tertawa. Mereka menganggapnya gila.
"Mana mungkin ada banjir di sini? Matahari bersinar setiap hari!"
Tapi Nuh tetap memalu papan demi papan, dengan iman sebagai bahan bakarnya.

Ketika Nasihat Dianggap Gangguan

Masyarakat di zaman Nuh sudah terbiasa hidup nyaman. Mereka punya teknologi dan budaya yang maju pada masanya --- tapi kehilangan arah moral. Mereka lebih sibuk membangun nama sendiri daripada mendengarkan suara hati. Nuh menasihati mereka, tapi nasihat dianggap gangguan, bukan penyelamatan. Mereka menertawakan apa yang tidak mereka pahami.

Bukankah itu mirip dengan hari ini?

Kita hidup di zaman paling modern dalam sejarah manusia. Teknologi ada di genggaman tangan, informasi mengalir cepat, pendidikan merata. Tapi manusia modern sering kali sama: merasa cukup tahu segalanya, hingga menutup telinga dari kebijaksanaan.
Kita sering menertawakan hal-hal yang tidak masuk logika kita, sama seperti masyarakat yang menertawakan kapal Nuh di tengah padang.

Kapal Nuh: Lambang Ketaatan di Tengah Kesombongan

Kapal Nuh bukan hanya simbol keselamatan fisik, tapi juga ketekunan spiritual. Nuh tidak membangun kapal dalam sehari. Butuh waktu puluhan, bahkan ratusan tahun. Sementara dunia di sekitarnya semakin bejat, Nuh tetap bekerja --- diam-diam, tekun, sabar.
Ia tahu, hujan belum datang, tapi ketaatan tidak butuh bukti dulu untuk dijalani.

Hari ini, banyak orang kehilangan nilai itu. Kita hidup di era instan: ingin sukses cepat, viral cepat, kaya cepat, bahkan "selamat" dengan cara cepat. Padahal, iman --- seperti kapal --- dibangun dari kesabaran dan ketaatan yang panjang.

Banjir Dulu Air, Banjir Kini Nilai

Banjir di zaman Nuh menenggelamkan dunia dengan air. Banjir di zaman sekarang menenggelamkan nurani dengan nilai-nilai yang rusak.
Banjir informasi tanpa kebijaksanaan.
Banjir popularitas tanpa karakter.
Banjir keinginan tanpa kendali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun