Mohon tunggu...
Wahyudi Adiprasetyo
Wahyudi Adiprasetyo Mohon Tunggu... Sang Pena Tua

Pena tua memulung kata mengisi ruang literasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hujan Musim Kemarau

17 Juni 2025   20:42 Diperbarui: 17 Juni 2025   20:42 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hujan di Musim Kemarau: Tafsir Filosofis atas Retaknya Musim dan Kesadaran Manusia.

Langit seharusnya cerah. Daun-daun seharusnya menggugur dalam hening. Udara semestinya kering, menggurat tanah menjadi retakan-retakan yang berbicara diam-diam tentang ketahanan. Namun kini, hujan turun. Bukan gerimis, tapi hujan deras yang menghantam genteng dan menggelontor jalanan. Ini musim kemarau, tetapi suara langit tidak lagi sesuai dengan kalender. Seolah-olah bumi telah lupa pada janjinya sendiri.

Namun apakah yang sejatinya lupa? Apakah bumi yang mengingkari musim, atau manusia yang terlalu percaya pada kepastian?

Inilah saatnya kita menanggalkan jas laboratorium, melepaskan kacamata ramalan, dan memakai jubah kebijaksanaan. Kita tidak sedang membahas anomali cuaca. Kita sedang membahas anomali kehidupan.

1. Alam Tak Lagi Berbisik, Ia Berteriak

Hujan deras di tengah kemarau bukan hanya gejala meteorologi---ia adalah bahasa alam yang berubah nada. Dulu ia berbisik dengan angin, sekarang ia berteriak lewat badai. Dulu ia mengisyaratkan, kini ia mengguncang.

Alam sudah lama bicara, namun manusia sibuk dengan layar, kontrak, dan kalkulasi. Kita mencangkul tanah tanpa menghormatinya, menebang pohon tanpa memohon izin, mengeruk laut tanpa bertanya apakah ia sanggup. Dan kini, ketika musim tak lagi setia, manusia baru terbangun.

Inilah bentuk awal dari kekacauan kosmik kecil---bukan kiamat, tapi peringatan bahwa hidup tidak bisa ditata hanya dengan akal dan kalender. Keteraturan tanpa kesadaran akan berakhir dalam kesia-siaan. Apa yang tampak sebagai pergeseran musim adalah gema dari kerusakan spiritual manusia atas alam semesta.

2. Musim yang Retak adalah Cermin Jiwa yang Retak

Ketika musim tidak lagi sesuai, jangan buru-buru menyalahkan cuaca. Tilik ke dalam: barangkali ketidakteraturan itu adalah cerminan dari jiwa manusia yang tak lagi berakar. Kita telah hidup dalam logika produksi, efisiensi, dan pertumbuhan tanpa batas. Kita menciptakan waktu sebagai jam kerja, bukan sebagai ruang kontemplasi.

Musim pun akhirnya ikut terfragmentasi seperti manusia: tercerai-berai antara makna dan fungsi. Hujan yang jatuh di musim kemarau bukan hanya basah, tapi juga simbol dari jiwa manusia modern---resah, bingung, kehilangan arah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun