Ketika Yang Harusnya Mencintai Justru Membunuh
Ada yang ganjil, menyayat, dan tak bisa diterima oleh nurani terdalam manusia. Saat gelombang berita pembunuhan datang terdapat fakta ada hubungan antara korban dan pelaku. Terus berulang seperti itu. Mirisnya, pelaku seharusnya menjadi pihak yang mencintai korban. Ini bukan cuma memprihatinkan namun juga petaka paling menyedihkan. Ada satu tanda tanya besar pada dunia kita: ada apa dengan cinta?
Seorang ibu membunuh anaknya sendiri. Seorang suami mencekik istrinya sampai mati. Seorang kakek menenggelamkan cucunya. Seorang pacar menusuk kekasihnya karena tidak rela putus. Seorang pembantu menghabisi majikannya, atau sebaliknya, karena "sakit hati". Bahkan ada bos yang menghilangkan nyawa anak buahnya, atau anak buah yang tega menghabisi atasan sendiri.
Yang membunuh bukan orang asing. Bukan perampok di jalan, bukan pembunuh bayaran. Melainkan mereka yang seharusnya mencintai. Yang setiap hari saling bertukar sapa, bahkan mungkin saling berbagi mimpi. Tapi justru di tangan merekalah, darah ditumpahkan dan nyawa direnggut dengan alasan yang begitu rapuh: cinta.
Ada apa dengan cinta? Mengapa Cinta Membunuh
Seharusnya, cinta adalah tempat teraman di dunia. Pelukan cinta adalah pelindung dari dunia yang kejam. Namun yang terjadi kini sebaliknya---cinta justru menjadi pembunuh. Dan lebih pilu lagi, cinta tak merasa bersalah. Ia mengklaim diri sebagai korban. Cinta yang seharusnya menyembuhkan kini menyisakan trauma berkepanjangan.
Apa yang salah? Apakah ini benar-benar cinta?
Dalam terang psikologi, cinta tidak boleh membutakan. Bila cinta berubah menjadi dominasi, posesivitas, dan hasrat mengendalikan, maka yang kita saksikan bukan cinta, tetapi luka yang menyamar. Orang-orang mencintai dengan jiwa yang belum sembuh. Mereka belum selesai dengan diri sendiri, lalu berharap orang lain mengisi kekosongan itu. Ketika realita tak sesuai harapan, cinta berubah menjadi kemarahan, lalu kekerasan.
Dalam kacamata teologi, cinta bukan sekadar emosi. Cinta adalah perintah agung. Ia mencerminkan sifat Allah sendiri---lembut, sabar, tidak memaksa. Namun ketika cinta dicemari oleh ego manusia, cinta kehilangan wujud ilahinya. Ia berubah menjadi berhala: menuntut untuk disembah, dan menghukum jika tak dituruti. Inilah cinta yang berbahaya.
Masyarakat yang Kehilangan Makna Cinta
Kita hidup dalam zaman yang mengagungkan relasi, tapi lupa membentuk karakter. Banyak orang ingin dicintai, tapi tak belajar mencintai. Kita belajar matematika, teknologi, bisnis, bahkan kepemimpinan. Tapi tidak pernah diajari: bagaimana mencintai dengan sehat?