Mohon tunggu...
Wahyudi Wibowo
Wahyudi Wibowo Mohon Tunggu... Sed Vitae Discimus

Staf Pengajar pada Fakultas Bisnis Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pembiayaan Kesehatan Anak Penyandang Disabilitas

5 April 2025   08:19 Diperbarui: 5 April 2025   08:30 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Dalam RPJMN 2025-2029, pemerintah antara lain mengarusutamakan inklusi sosial. Implikasinya, pemenuhan hak kesehatan bagi kelompok masyarakat rentan seperti anak penyandang disabilitas perlu mendapat prioritas dalam kebijakan kesehatan nasional. Harian Kompas menyoroti hal ini (24/2/2025), dengan mengetengahkan rekomendasi Kertas Kerja Pembiayaan Kesehatan Anak Penyandang Disabilitas yang digagas Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bersama Komisi Nasional Disabilitas (KND), Save the Children Indonesia, serta Lembaga Analis dan Advokasi Kebijakan Publik (Elkape).

Menurut estimasi Riset Kesehatan Dasar 2018, terdapat hingga dua juta anak penyandang disabilitas di Indonesia. Sementara Survei Kesehatan Indonesia 2023 mencatat prevalensi penyandang disabilitas penglihatan, pendengaran, dan berjalan pada anak berusia kurang dari 1 tahun adalah 1,2% dan pada anak berusia 5-17 tahun sejumlah 1,6%, tidak termasuk mereka yang memiliki hambatan mental dan intelektual.

Dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, pemerintah telah menunjukkan komitmen melalui program bantuan seperti Asistensi Rehabilitasi Sosial (ATENSI) dan layanan terapi pada sentra-sentra Kementerian Sosial. Namun, kesenjangan capaiannya masih besar. Menurut Kementerian Sosial pada 2022 kurang dari 30% anak penyandang disabilitas menerima rehabilitasi.

Baca juga: Pemilu Inklusi

Kenyataan di lapangan menunjukkan penyediaan layanan kesehatan bagi kelompok penyandang disabilitas jauh dari memadai serta tidak merata di berbagai daerah. Keterbatasan anggaran pemerintah dan cakupan layanan BPJS Kesehatan menjadi kendala utama.

Kebutuhan biaya kesehatan bagi anak penyandang disabilitas memang tinggi. Studi berjudul "The Economic Costs of Childhood Disability" yang dilakukan Shahat dan Greco pada tahun 2021 di berbagai negara mengungkap biaya tahunan antara $450 hingga $69.500. Di negara-negara berkembang biayanya berkisar $500 hingga $7.500. Besarannya bervariasi bergantung pada jenis dan tingkat disabilitas anak.

Biaya di atas mencakup berbagai komponen layanan medis khusus. Termasuk di dalamnya biaya langsung medis untuk diagnosis, pengobatan, rehabilitasi, dan penanganan komplikasi; serta biaya langsung non-medis, seperti transportasi ke fasilitas kesehatan, penyediaan alat bantu, maupun pelatihan khusus tenaga kesehatan. Di luar itu, masih terdapat biaya tidak langsung berupa hilangnya produktivitas orang tua ataupun tenaga pendamping yang merawat.

Di luar itu, terdapat pula kebutuhan perlindungan kesehatan anak berkebutuhan khusus lain, misalnya mereka yang mengalami kelainan darah, seperti talasemia. Yayasan Talasemia Indonesia mencatat pada 2021 terdapat 10.973 kasus. Biaya kesehatan anak dengan talasemia major, mencakup biaya transfusi darah dan terapi khelasi, diperkirakan mencapai Rp 300 juta setahun (Rahmah dan Makiyah, 2022).

Survei Kesehatan Indonesia 2023 juga menyodorkan fakta penting, yakni prevalensi tinggi anak penyandang disabilitas pada keluarga-keluarga berpendapatan rendah. Ini berarti anak penyandang disabilitas tergolong kelompok masyarakat dengan kerentanan ganda. Fakta ini sekaligus menjelaskan maraknya penggalangan dana, misalnya di platform donasi online, untuk biaya pengobatan dan pengasuhan anak penyandang disabilitas.

Maka, dalam konteks perlindungan hak asasi manusia sebagaimana dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2011, hak kesehatan bagi anak penyandang disabilitas bukanlah pilihan, melainkan kewajiban negara. Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak dan Konvensi Hak Penyandang Disabilitas yang menegaskan hak setiap anak, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan khusus, untuk memperoleh layanan kesehatan yang layak dan terjangkau.

Biaya kesehatan anak penyandang disabilitas yang besar dan umumnya bersifat seumur hidup tidaklah mungkin ditanggung sendiri oleh keluarga. Perawatan medis rutin, terapi okupasi, alat bantu kesehatan, hingga kebutuhan rehabilitasi memerlukan sumber pembiayaan yang berkelanjutan. Sementara itu, intervensi layanan kesehatan sejak usia dini amat diperlukan untuk meningkatkan kualitas hidup dan kemandirian, serta sekaligus menurunkan kebutuhan biaya kesehatan di masa depan.

Keberpihakan pemerintah diperlukan karena anak penyandang disabilitas merupakan bagian dari kelompok masyarakat rentan yang membutuhkan perlindungan ekstra. Mereka menghadapi berbagai hambatan dalam mengakses layanan kesehatan, baik dari segi finansial, geografis, maupun ketersediaan layanan medis yang sesuai dengan kebutuhan spesifik mereka. Tanpa intervensi yang memadai, mereka akan semakin terpinggirkan, serta kehilangan kesempatan untuk berpartisipasi aktif di masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun