Mohon tunggu...
Wahyu Dewanto
Wahyu Dewanto Mohon Tunggu... wiraswasta -

Anggota komunitas angkringan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mudik dan Esensi Kembali Fitri

28 Agustus 2011   08:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:24 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_132027" align="alignnone" width="680" caption="Ilustrasi/Admin (KOMPAS)"][/caption] Bagi perantau, mudik bukan sekadar alat pelepas kangen dan mengembalikan kenangan. Namun manifestasi dari kembali ke asal muasal. Gambaran perantau tersebut berlaku juga bagi umat Islam keseluruhan. Sebuah upaya untuk tidak melupakan jati diri meski begitu banyak kehidupan telah dilaluinya. Pulang ke kampung ibaratnya pulang ke haribaan. Kembali ke titik nol sebelum akhirnya kembali menjalani kehidupan berikutnya. Sebuah keadaan dimana seseorang dalam keadaan fitrah. Fitrah atau fitri adalah keadaan dimana seseorang berada pada asal kejadian. Keadaan itu hanya dimiliki oleh bayi yang baru dilahirkan. Kesucian menjadi konsekuensi logis bagi seorang bayi yang baru dilahirkan. Sebuah situasi dimana tidak ada dosa setitikpun pada dirinya. Dalam khasanah Islam hal tersebut termaktub dalam ritual hari raya Idul Fitri. Disebut hari raya karena merupakan ekspresi umat dalam merayakan kefitrian. Demi mencapai kondisi fitri, umat Islam menjalani rangkaian ibadah yang akan membawa mereka pada penyucian diri. Puasa adalah ibadah utama yang akan lengkap dan afdal jika dibarengi dengan ibadah-ibadah lainnya. Kesabaran akan mengatasi cobaan dan ujian selama menjalankan puasa, sementara sikap berbagi akan menggenapkan kesalehan. Proses penyucian selama sebulan itu diharapkan mampu mengembalikan fitrah manusia. Mengembalikan ke asal muasal manusia yang suci lagi tak berdosa. Kesungguhan menjadi ukuran apakah kita layak menyandang manusia fitri. Menjadi makhluk yang dicintai Allah karena upaya kita mendekatkan diri kepada Sang Khalik. Atau malah sebaliknya, menjadi makhluk yang menyia-nyiakan kesempatan, padahal jalan menuju ketakwaan digelar sepanjang Ramadhan. Sebulan sebelum Idul Fitri adalah hari-hari dimana kita dilatih untuk mengendalikan diri. Artinya manusia ditakdirkan memiliki nafsu yang tidak mungkin dihilangkan. Namun cukup hanya dikendalikan. Tugas mengendalikan inilah yang akan membuat apakah manusia berkuasa terhadap nafsunya atau malah sebaliknya, nafsu mengendalikan manusia. Etos dan pesan moral puasa akan menjawab itu semua. Umat Islam akan mencapai keadaan idul fitri manakala berkuasa atas nafsunya. Selanjutnya adalah perkara bagaimana umat kemudian menjaga komitmen ibadah puasa meski Ramadhan berlalu. Kesabaran akan mengatasi masalah godaan dan cobaan sehingga terhindar dari kegagalan mencapai kefitrian. Sebenarnya, kita bisa dengan jujur mengatakan apakah kita layak mencapai keadaan fitri. Apakah belanja yang biasa dilakukan menjelang lebaran merupakan kuasa kita terhadap nafsu atau sebuah kuasa nafsu terhadap diri kita. Secara jujur kita juga bisa mengatakan apakah sodakoh yang dikeluarkan atas kendali kita atau atas kendali nafsu. Rupanya kita—umat Islam—perlu untuk menilik ulang agar orientasi kemanusiaan kita ke arah hal yang genuine. Ramadhan akan menjadi masa-masa yang mampu memberi amunisi untuk menjauhi orientasi kemanusiaan yang menyimpang. Seperti konsumtif-hedonistis. Ramadhan akan memberikan semangat untuk bermuhasabah dan bercengkerama dengan Sang Khalik. Kita tak perlu menciptakan suasana sepi dan senyap apabila yang kita inginkan adalah keheningan. Dalam keheningan itulah saat yang tepat untuk membangun hubungan yang lebih intens dengan Allah SWT. Berintropeksi secara lahir dan batin. Wujud nyata dari ibadah puasa adalah kesabaran dan rasa berkelimpahan untuk berbagi terhadap sesama. Hasil akhirnya berupa ketakwaan hanya terhadap Allah SWT. Kesucian menjadi turunan bagi mereka yang bertakwa. Umat Islam mengekspresikan kembali dalam keadaan suci itu di hari raya Idul Fitri. Saat fajar merekah dimana umat Islam menunaikan sholat Ied. Diantara mereka yang sholat Ied, boleh jadi adalah orang-orang yang mudik lebaran dan baru beberapa hari sampai di kampung halaman setelah melewati perjalanan jauh. Mereka adalah satu dari sekian banyak yang ingin merayakan Idul Fitri di kampung halaman. Kampung halaman akan mengobati kerinduan setelah setahun ditinggal pergi. Sanak famili menjadi pengobar semangat untuk berbagi keceriaan. Saling berkunjung diantara handai tolan untuk menjaga tali silaturahim. Pulang ke kampung halaman adalah metafora sosial dari kembali ke fitri. Kembali ke asal muasal dimana seseorang telah dilahirkan. Tempat bagi kerinduan tertumpah. Karena leluhur, handai tolan dan sanak famili juga telah menancapkan tali kasihnya di tanah lahirnya. Selamat mudik bagi yang mudik. Semoga ibadah puasa Anda di bulan Ramadhan diterima Allah SWT dan menjadi pribadi yang bertakwa.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun