Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Nikmatnya Lontong Tuyuhan Khas Rembang yang Segar dan Pedas

17 November 2018   17:44 Diperbarui: 21 November 2018   17:39 1263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Satu porsi Lontong Tuyuhan yang nikmat, segar dan pedas. Nyumiiii.... (dokpri).

Saya baru ada pekerjaan di Blora. Jadi mau tidak mau harus sering ke kota Blora. Perjalanan menuju Blora dari kota Semarang memakan waktu sekitar 3 hingga 4 jam. Melewati kota Purwodadi atau bisa juga melewati jalur pantura kota Rembang. Biasanya, saya jalan dengan teman saya. Ia lebih menyukai melewati jalur pantura, karena jalannya lebih lebar. Meskipun lebih jauh jika dibanding melewati jalur kota Purwodadi.

Biasanya karena waktu perjalanan yang lama ini, sering membuat perut lapar di tengah perjalanan. Apalagi ketika melewati saatnya jam makan. Daripada pusing karena mikirin belum makan, maka mampirlah di warung makan. Hahaha...

Seringnya saya dan teman kerja saya ini, memiliki tempat ampiran makan yang favorit. Yang lumayan bersih dan enak rasanya. Tak harus warung makan yang megah dan mahal. Asal memenuhi syarat tadi, maka kami berdua mampir.

Ketika kami tengah melintas di kota Rembang, teman saya bertanya. Pernah merasakan lontong tuyuhan? Makanan ini adalah khas kota Rembang, loh, katanya. Saya menjawab, pernah sih beberapa kali. Tapi sepertinya aku bakalan suka kalau mampir lagi, jawab saya lagi. Teman saya nyengir. Baiklah, kita mampir, ya, kata teman saya tadi. Saya mengiyakan.

Warung makan yang menyediakan lontong tuyuhan. (Dokpri).
Warung makan yang menyediakan lontong tuyuhan. (Dokpri).
Mampirlah kami di warung Bu Hanifah, yang berlokasi di Mantingan, Jalan Rembang-Blora. Masih memasuki wilayah Rembang. Menunya khusus Lontong Tuyuhan. Hem. Lalu kami memesannya.

Penjualnya kakak cantik. Sebenarnya yang berjualan adalah ibunya. Saya bertanya pada ibunya, "Ini anaknya ya bu?" Sang ibu menjawab iya. Ia adalah seorang mahasiswa yang sedang skripsi. Kebetulan pas tidak ada jadwal kuliah, ia membantu ibunya berjualan. Wah, pinter ya kakak. Meskipun seorang mahasiswa, tetapi tidak canggung membantu.

Penjualnya adalah kakak cantik, anak dari pemilik warung. (Dokpri).
Penjualnya adalah kakak cantik, anak dari pemilik warung. (Dokpri).
Kenapa dinamakan lontong tuyuhan? Ini karena pembuat dan penjual makanan ini awalnya berasal dari Desa Tuyuhan, Kecamatan Pancur, Rembang. Pusatnya berada di tepi jalan desa beraspal jurusan Lasem-Pandan, tepatnya yang melintas di Desa Tuyuhan. Atau sekarang juga banyak penjual lontong tuyuhan di Daerah Pereng, di pinggir jalan raya Clangapan Rembang kearah Pamotan. Di situ banyak berjajar penjual makanan khas Rembang tersebut.

Konon dulu, mereka dalam menjajakan lontong tuyuhan memiliki ciri khas, menyalakan lampu dari minyak tanah atau disebut sentir. Tetapi dengan perkembangan zaman, lampu sentir telah tergantikan dengan lampu listrik. Dan sekarangpun para penjual lontong tuyuhan sudah menyebar di berbagai lokasi di sekitaran kota Rembang. Bahkan di beberapa kota lainnya di luar kota Rembang loh. Lontong tuyuhan banyak yang menggemari dan sudah kondang.

Lontong dari masakan ini berbentuk unik. Memiliki bentuk segitiga, berbeda dengan lontong pada umumnya, yang berbentuk bulat lonjong. Lontong memiliki filosofi tersendiri dengan bentuk lontong yang digunakan sebagai sajian lontong tuyuhan. Bentuk segitiga merupakan simbol. Ada tiga sudut dalam segitiga, simbol agar kita selalu berpegang pada tiga prinsip. Budaya atau sejarah, agama, dan pendidikan. Kita diajarkan agar tiga prinsip tadi menjadi acuan dalam menjalani kehidupan sehari-hari. O, begitu ya.

Bentuk lontongnya unik, segitiga. Memiliki simbol yang bermakna filosofis. (Dokpri).
Bentuk lontongnya unik, segitiga. Memiliki simbol yang bermakna filosofis. (Dokpri).
Lontong tuyuhan tersaji. Kuahnya hangat dan baunya harum. Mirip-mirip opor, tetapi memakai cabai merah sehingga kuahnya lebih merah. Dan karena rasanya pedas, maka tentu saja rasanya lebih segar. Berbahan dasar ayam kampung, terasa gurih. Saya pun mencicipnya. Kuahnya bersantan, tetapi tidak eneg. Ramuannya pas. Asin maupun manisnya. Cocok. Kuahnya yang melimpah, menjadikan badan menjadi lebih hangat.

Kuahnya melimpah, menjadikan sajian lontong tuyuhan ini segar dan hangat. (Dokpri).
Kuahnya melimpah, menjadikan sajian lontong tuyuhan ini segar dan hangat. (Dokpri).
Kita bisa memilih ayam bagian mana yang disuka. Sayap, dada, kerongkong, paha atau empong, hati empela dan kepala. Ada juga tempe. Fuuiiii... saat satu porsi tersaji, terasa banyak dan merasa bakalan tidak sanggup menghabiskannya. Tetapi ketika disantap, eh, nggak terasa tandas deh satu piring. Bakalan nambah nih... E tapi, enggak lah. Lain kali saja mampir lagi.... Sluruuup... segaaar...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun