Mohon tunggu...
Wahyu Aji
Wahyu Aji Mohon Tunggu... Administrasi - ya begitulah

Insan yang suka mendeskripsikan masalah dengan gaya santai

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jejak Politik Idham Chalid, Pahlawan dan Tokoh NU Awal Kemerdekaan

30 Agustus 2020   09:19 Diperbarui: 30 Agustus 2020   10:57 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Idham Chalid (tengah), diangkat menjadi pahlawan nasional tahun 2011/merantione.com

Masuknya tokoh NU ke dalam pusaran politik pemerintahan bukanlah hal yang baru. Jauh sebelum era Abdurrahman Wahid dan Maaruf Amin, seorang pembelajar dari Kalimantan bernama Idham Chalid telah merasakan bagaimana menjadi orang penting bahkan di dua era orde kepemimpinan.Lahir di Satui, Hindia Belanda (Sekarang Kecamatan Satui, Tanah Bumbu), 27 Agustus 1927, Idham Chalid merupakan tokoh Masyumi dan NU di masa orde lama hingga pertengahan orde baru. Pada masanya, Idham Chalid menjadi orang NU pertama yang menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri era Sukarno. 

Jejak politiknya pertama kali direkam ketika ia masuk menjadi anggota Sekretaris Panitia Kemerdekaan Indonesia (HSU) tahun 1945. Tahun berikutnya, ia bergabung dalam Sarekat Muslimin Indonesia (SERMI). Dalam buku Idham Chalid: Guru Politik Orang oleh Ahmad Muhajir, Idham kemudian bergabung dengan Sentral Organisasi Pemberontak Indonesia Kalimantan (SOPIK). Dari tahun 1950 hingga 1955 Idham Chalid menjadi anggota DPR Sementara mewakili Masyumi untuk wilayah Kalimantan.

Pada Muktamar NU ke-21 tahun 1956 di Medan, mengukuhkan Idham Chalid menjadi Ketua Umum PBNU dan langgeng hingga 1984 (28 tahun). Faktor yang membuatnya begitu lama bertahan sebagai Ketua PBNU adalah kedekatannya dengan Rais Aam NU yang sangat berpengaruh yaitu Wahab Hasbullah. 

Disamping itu, tak bisa dipungkiri bahwa kharismanya membuat orang yang berhubungan dengannya merasa nyaman. Dengan kelebihannya itu, ia mendapatkan julukan ahli yahannu, istilah sehari-hari di kalangan pesantren yang berarti "mengatakan hal-hal yang menyenangkan orang, menyampaikan apa yang ingin mereka dengar". Gaya kepemimpinan seperti inilah yang membuatnya bertahan lama di jajaran teratas tanfidziyyah (eksekutif) NU.

Selama perjalan karir politiknya sembari menjadi tokoh NU, Idham Chalid telah merasakan berbagai jabatan penting diantaranya wakil perdana menteri (waperdam). Dimulai dengan masuk pada kabinet Ali Sastroamidjojo (24 Maret 1956-9 April 1957), kemudian kabinet Djuanda (9 April 1957-9 Juli 1959) dan dua kali dalam kabinet Dwikora (22 Februari 1966-25 Juli 1966).

Ahmad Muhajir dalam bukunya menyebutkan bahwa Fealy (Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU) menilai, masuknya Idham Chalid ke dalam jabatan Wakil Perdana Menteri merupakan hal yang luar biasa. Saat itu usianya baru 35 tahun dan tanpa ada pengalaman sebagai menteri, pengangkatannya mencerminkan bahwa NU tidak hanya menaruh harapan besar terhadap pekembangankarir Idham, tetapi juga tidak mempunyai calon lain yang layak. Idham menyatakan bahwa pada awalnya ia enggan untuk menerima jabatan itu. Akan tetapi, ia dibujuk Ali Sastroamidjojo untuk menerima penunjukan itu.

Walau menjadi orang penting di masa orde baru atau kepemimpinan Sukarno, di masa orde baru dimana Suharto diagungkan, Idham juga masih dipercaya menduduki jabatan penting pemerintahan. Idham diangkat menjadi Menteri Kesejahteraan Rakyat dalam kurun waktu 1967 hingga 1970. 

Kemudian dia menduduki posisi Menteri Sosial di tahun 1970 sampai 1971. Memasuki masa bakti 1971-1977, Idham dipilih menjadi Ketua DPR dan MPR sesudah Pemilu 1971. Jabatan terakhir yang dipegangnya adalah sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Menduduki jabatan DPA tidak lagi punya pengaruh besar dalam kehidupan bernegara saat itu dan sering dianggap posisi kehormatan bagi para pejabat tinggi atau tokoh politik sebelum dipensiunkan.

Bagi Idham, berpolitik semestinya bertujuan untuk kemaslahatan dan berguna bagi orang banyak. Karena itu tidak mesti ngotot-ngototan atau kaku dalam bersikap. Ia menggambarkan seorang politisi yang baik mestilah memahami "filosofi air". Filosofi air bermakna mampu bersifat dinamis dimana ditempatkan, baik gelas ataupun ember dan mampu menjadi ibu kehidupan bagi sekitarnya. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun