Sugar coating bisa jadi merupakan kemampuan berkomunikasi. Tergantung tempatnya di mana. Kalau untuk jenis-jenis pekerjaan yang harus flexible mendekati orang jenis apapun mungkin kemampuan ini diperlukan. Dengan catatan, (seharusnya) sugar coating tidak terlalu "sugary", alias tetap dapat dipertanggung jawabkan. Jilat-jilat dikit kadang perlu juga kalau menghadapi orang yang memang senang dijilat dan diangkat-angkat. Itu pun sebaiknya hanya kalau perlu saja, tanpa merugikan orang lain dan tidak perlu merendahkan diri sampai terlalu rendah.
Karena pada akhirnya keterampilan menjilat doang tidak akan ada gunanya. Harus ada sambungannya, yaitu kemampuan sebenarnya yang ingin ditonjolkan.
Seorang pekerja bisa saja menjilat sana-sini dalam persaingan dengan rekan kerja yang lain, tetapi kalau otaknya kosong, pada akhirnya akan tereliminasi juga.
Belum lagi, orang seperti ini akan menuai rasa tidak suka dari rekan kerja lain. Karena biasanya, dia adalah orang yang pandai bicara, tetapi bicaranya bisa beda-beda ke setiap orang, tergantung tujuan pribadinya. Mungkin juga dia memang selalu berusaha terlihat "baik" di mata semua orang, padahal kenyataannya baik hanya demi kepentingan diri sendiri.
Ada juga golongan penjilat yang mengambil "tugas" menyampaikan segala sesuatu kepada atasan, sehingga membuat atasan panas dan mengambil tindakan tergesa-gesa tanpa penyelidikan lebih lanjut.
Apa gak cape ya?
Terkadang kita baru sadar kalau ada rekan kerja penjilat yang senang mengambil keuntungan dari suatu situasi dan kita merasa kesal dengan kelakuanya. Namun, percaya saja, pada akhirnya kejujuran yang menang. Mungkin bukan menang di tempat yang sama, tetapi bisa jadi di tempat lain.
Terusir dari suatu tempat karena ulah seorang penjilat, bukan akhir dari segalanya. Mungkin justru mereka yang rugi karena tidak bisa mengenali penjilat yang salah tempat. Sementara si penjilat bisa jadi bertahan di tempat itu. Tetapi bertahan di satu tempat, belum tentu maju. Bisa jadi karena tidak punya modal skill yang mumpuni untuk pindah kerja demi mendapatkan sesuatu yang lebih baik.
Saya sendiri pernah "melabrak" seseorang karena "asbun". Dan rupanya asbunnya karena aduan seorang penjilat, yang sekaligus mencari jalan agar tidak disalahkan atas sesuatu, dengan berusaha menimpakan kesalahan pada saya.
Mungkin bisa dikatakan orang yang dilapori ini adalah salah satu penentu apakah pekerjaan saya lanjut di tempat itu atau tidak, walaupun dia bukan atasan saya. Tetapi, karena saya tahu persis pekerjaan saya, dan karena omongannya yang asbun, maka saya berani bertanya, "Maksudnya apa nih?!"
Rupanya, orang ini pun penjilat juga dan sedang mengincar suatu jabatan. Dia ingin terlihat penting dan bijaksana. Sayangnya skill kurang mendukung. Hanya karena sudah sekian tahun bekerja di situ, maka dia merasa pantas untuk naik jabatan.
Kasus itu akhirnya sampai ke atas. Dan saya pun kebagian ditanya. Karena itu saya jadi tahu, masalahnya belum bisa dia selesaikan. Padahal gampang saja penyelesaiannya. Tidak perlu juga buang waktu mencari-cari kambing hitam. Kalau memang perlu bantuan tinggal bilang. Itu baru namanya kerja sama. Tidak perlu saling menjatuhkan.
Yeah, ada juga tipe penjilat yang berusaha menimpakan kesalahan pada orang lain. Tipe ini akan mengatakan hal yang tidak benar demi mengalihkan resiko pada orang lain. Seolah-olah sebuah kesalahan terjadi karena kelalaian si A, si B. Padahal, sebenarnya dia kepepet mencari jalan keluar yang menguntungkan bagi dia sendiri, atas spekulasi yang dia lakukan.
Biasanya orang seperti ini akan baik di awal, agar orang mau melakukan sesuatu untuknya karena termakan oleh kebaikannya. Namun, sebenarnya dia sudah tahu, kalau di belakang hari kemungkinan besar bakal ada apa-apa. Dia hanya untung-untungan saja. Jika berhasil, dia terhindar dari resiko, jika tidak maka resiko dialihkan pada pihak yang memang dari awal sebenarnya sudah ditentukan sebagai pihak yang akan diposisikan sebagai pihak yang salah. Â
Saya pernah jatuh dalam kondisi ini, dan baru sadar ketika pihak yang dirugikan bertanya pada saya, seolah-olah semuanya adalah tanggung jawab saya. Sementara si orang itu sendiri berakting seolah-olah dia korban juga. Dia pun berusaha menunjukan bahwa dia ada di pihak yang dirugikan. Padahal sebenarnya, semuanya karena perbuatan dia sendiri.Â
Dalam kasus-kasus seperti ini, saya lebih memilih menyelesaikan pekerjaan, sekalipun dengan resiko merugi dan sekalipun sebenarnya itu bukan sepenuhnya tanggung jawab saya. Dari sisi saya sendiri, saya akan merasa lebih baik pergi tanpa beban menggantung.
Penjilat mungkin akan kita temui di mana-mana, mulai dari yang kelas kecil-kecilan sampai kelas ahli yang merugikan. Maka itu perlu untuk kita juga cerdik seperti ular dalam menghadapi mereka tetapi tetap tulus seperti merpati.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI