Mohon tunggu...
Veronika Gultom
Veronika Gultom Mohon Tunggu... Programmer/IT Consultant - https://vrgultom.wordpress.com

IT - Data Modeler; Financial Planner

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Jurnalisme Berkualitas, Seharusnya Tidak Hanya Tergantung pada Selera Masyarakat

10 Agustus 2023   22:55 Diperbarui: 11 Agustus 2023   17:56 414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : kompas.com ((Engin Akyurt/Pixabay) 

Ketika semua orang bebas menjadi jurnalis penulis berita, siapakah yang memvalidasi kebenaran beritanya? Apakah pembaca? Sayangnya pembaca juga tidak semuanya cerdas. Ada banyak pembaca yang asal baca atau membaca hanya sesuai selera tanpa merasa perlu mempertanyakan kredibilitas sumber berita.

Benar bahwa teknologi  selalu ditingkatkan, dan secara logika dapat dibangun teknologi untuk mengenali ciri-ciri sumber-sumber berita yang merupakan spam, tidak dapat dipercaya, tidak kredibel, atau tergolong berita murahan, dsj. 

Teknologi  yang termasuk dalam golongan Artificial Intelligence ini dibangun dengan cara mempelajari dan mengklasifikasikan ciri-ciri spam, hoax, berita murahan, dsj, kemudian mengujinya dengan lebih banyak sumber-sumber berita yang dicurigai masuk dalam golongan tersebut, untuk selanjutnya dengan percaya diri mesin yang dibuat dibiarkan bekerja sendiri mengidentifikasi sumber-sumber berita yang masuk dalam golongan tersebut.

Namun, masalah penggolongan berkualitas atau tidak, dapat berbeda-beda bagi setiap orang/kelompok, karena standarnya bisa ditentukan masing-masing. Jadi peraturan yang dibuat, tentunya harus punya standar dulu, yang berkualitas itu yang bagaimana. 

Selain itu tidak semua media arus utama "ngotot" mengikuti aturan standar jurnalisme berkualitas. Ada juga yang mengikuti selera pembaca demi memperoleh rating, iklan, dan lain-lainnya demi mencari keuntungan. Bisa dimengerti bahwa media jurnalistik bukan organisasi non profit. Mereka juga perlu mencari keuntungan untuk membayar para pekerjanya, menutup biaya operasional dll.

Bagaimana dengan influencer? Yah...kebanyakan dari mereka juga hanya mengikuti selera pemirsa, demi mendapatkan jumlah viewer, like, subscriber, dll. 

Ada berapa banyak influencer di negeri ini yang berkualitas? Ada banyak! Tetapi yang kurang berkualitas juga banyak. Coba saja cari di youtube tentang permasalahan yang sedang ramai jadi berita, ternyata video hoax yang mengada-ada juga banyak. Salah siapa? Tidak ada yang salah, karena mereka juga mungkin tidak terikat aturan alias bebas merdeka. 

Apa efek berita hoax? Yang jelas efeknya kebanyakan jelek. Berita baik dibesar-besarkan pun bisa menjadi kurang baik, demikian pula sebaliknya. Berita hoax biasanya sepihak, tidak netral. Tentunya hal ini akan merugikan pihak lain yang berkepentingan. Tidak hanya dalam hal politik, berita hoax terutama jaman Internet ini, di Indonesia, juga berdampak pada perorangan, terutama public figure. 

Memang menjadi public figure harus dapat menutup telinga, mata, dan mulut untuk hal-hal yang tidak perlu, tetapi tidak semua orang bisa seperti itu. Ujung-ujungnya mungkin mereka yang tidak kuat akan mundur dari dunia persilatan, namun efek lanjutannya? Siapa yang tahu?!

Belum lagi kelakuan para jurnalis gosip, yang tidak segan-segan mengorek berita dengan cara yang tidak etis. Putri Diana adalah salah satu korbannya. Di Indonesia juga ada yang begitu, walau tidak seberat kejadian Putri Diana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun