Mohon tunggu...
Vivi Fauziah
Vivi Fauziah Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

hobi saya membaca buku

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Bangsa, Daerah, dan Ambiguitas Modernitas di Indonesia Tahun 1950-an

25 Desember 2023   18:37 Diperbarui: 25 Desember 2023   18:45 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pemikiran tentang Bangsa Lewat Daerah

Pada tahun 1950-an, Indonesia menghadapi tantangan membangun identitas nasional pasca-merdeka, dengan ketegangan antara daerah dan identitas nasional yang dipicu oleh ketakutan akan sentralisasi kekuasaan di Jakarta. Konflik ini, terutama setelah kemerdekaan pada tahun 1950, mencakup kekhawatiran akan Jawanisasi, eksploitasi keuangan, dan kehilangan tradisi lokal. Istilah "daerah" memiliki beragam makna, dari aspek administratif hingga penggunaan sehari-hari.

Pada dekade tersebut, Indonesia juga menghadapi upaya yang tidak berhasil dalam mewujudkan demokrasi parlementer dan ketegangan di daerah terkait usaha menyatukan negara. Pemberontakan di Maluku, gerakan Darul Islam, serta pemberontakan Permesta dan PRRI di Sulawesi dan Sumatera Barat menjadi fokus utama. Sikap tegas daerah diinterpretasikan sebagai perlawanan terhadap integrasi dan konflik politik dan budaya terhadap proses Jawanisan.

Namun, analisis yang lebih mendalam perlu dilakukan, terutama ketika isu daerahisme dan tuntutan otonomi daerah muncul kembali pada tahun 1998. Melihat kembali ke tahun 1950-an, sentimen daerah yang eksplisit, politis, dan terkadang melibatkan kekerasan tidak boleh disederhanakan sebagai konflik sederhana antara kepentingan nasional dan daerah. Pembangunan bangsa tercermin juga di tingkat daerah, menunjukkan bahwa wacana nasional dan daerah dapat berdampingan.

Pada tahun 1950-an, Indonesia dihadapkan pada tantangan sentral dalam membentuk identitas negara-bangsa. Meskipun upaya untuk mempromosikan kesatuan dan kebangsaan ada, pandangan yang dominan berasal dari daerah, bahkan di kalangan mereka yang terlibat dalam revolusi dan anggota partai nasional. Berbagai langkah pembentukan wilayah daerah, pemerintahan lokal, dewan perwakilan, departemen daerah, reorganisasi, hingga pembentukan resimen tentara, sistem pajak, dan cabang partai nasional, semuanya diarahkan oleh perspektif daerah dan kepentingan lokal.

Meskipun gagasan tentang identitas bangsa Indonesia pertama kali muncul dari pemimpin di Jakarta, gagasan ini juga diterima di provinsi-provinsi, meskipun dengan syarat tertentu. Pada konteks ini, penekanan difokuskan pada ungkapan sentimen daerah yang mencerminkan peningkatan perhatian terhadap identitas lokal dan otonomi daerah di berbagai provinsi Indonesia. Kepedulian ini tidak selalu berdasarkan solidaritas daerah atau kepentingan umum, melainkan bisa terkait dengan kekhawatiran terhadap penurunan prestise individu di kalangan elite lokal.

Perlu dicatat bahwa kepedulian ini tidak selalu bersifat negatif, seiring situasi politik yang memberikan kesempatan bagi elit lokal untuk memperoleh kekuasaan dan kekayaan. Secara ideologis, kepedulian ini tidak hanya terbatas pada isu kebebasan lokal, tetapi juga melibatkan pertimbangan terhadap arah masa depan negara-bangsa Indonesia. Ungkapan kepedulian ini sering kali termanifestasi dalam wacana kedaerahan, terutama yang disuarakan oleh elit lokal, baik yang berasal dari kelompok bangsawan tradisional maupun politisi baru. Dengan fokus pada pemikiran dan tindakan politisi, pemimpin, dan intelektual daerah, diharapkan dapat memberikan pemahaman lebih mendalam tentang dinamika wilayah dan bangsa, serta membuka kembali interpretasi terhadap peristiwa-peristiwa yang sering dijelaskan dengan istilah integrasi nasional yang teleologis.

Arus ke Provinsi dan Problem Identitas Teritorial

Pemberontakan pada tahun 1950-an mencerminkan bagaimana kepentingan daerah terungkap dalam konteks perubahan politik dan ekonomi negara-bangsa Indonesia yang baru. Sentimen daerah sering kali dinyatakan melalui upaya penentuan ulang perbatasan provinsi dan kabupaten. Pada awalnya, pemerintah pusat membentuk sepuluh provinsi tanpa mempertimbangkan identitas daerah, namun pada paruh kedua tahun 1950-an, terjadi perubahan dengan dimekarkannya provinsi. Upaya ini dipicu oleh kekhawatiran administratif, kepentingan militer, dan tekanan dari daerah itu sendiri.

Pada tahun 1950, terdapat dorongan untuk menghindari sukuisme, namun seiring waktu, terutama pada tahun 1950-an dan 1960-an, sikap terhadap pembentukan provinsi berubah. Ketidakjelasan hukum desentralisasi pada awalnya memberikan peluang bagi elite daerah untuk mendorong teritorialisasi identitas daerah. Meskipun federalisme Belanda dibubarkan pada 1950, ditemukan lagi perjuangan untuk otonomi daerah. Pembentukan provinsi baru tidak selalu berasal dari desakan daerah, beberapa provinsi kecil dibentuk pada akhir 1950-an untuk mengatasi pemberontakan daerah dan memperkuat kehadiran militer.

Penting untuk diingat bahwa konflik kedaerahan tidak hanya melibatkan 'daerah' versus 'Jakarta'. Di tingkat provinsi, persepsi terhadap ibu kota provinsi dapat mirip dengan cara oposisi terhadap Jakarta, dianggap sebagai ancaman terhadap kepentingan lokal. Sejarah dan permusuhan lama dapat memicu tuntutan untuk pemisahan dari provinsi atau kabupaten tertentu. Meskipun pembentukan provinsi baru terkadang direspons positif oleh Jakarta, strategi ini dapat dianggap sebagai upaya untuk memecah belah dan menguasai. Proses ini juga meningkatkan kehadiran negara pusat di daerah tersebut melalui birokrasi, militer, dan simbol-simbol negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun