Mohon tunggu...
Viona Margaretha
Viona Margaretha Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Riau

Hai! Kenalin aku Viona. Menulis, membaca dan berkomunikasi adalah hal yang paling aku gemari. Senang berkenalan dengan kalian semua. Jangan lupa untuk support artikel ku dengan cara like dan share sweet comment ya. Jangan lupa juga follow IG di @vionamargareth_ . Terimakasih. See you! Happy Reading!^-^

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Kasus Anak Melaporkan Ibu Kandungnya: Apakah Bukti Pengekangan Hak Asasi Seorang Ibu? (Mother's Day Special Series)

22 Desember 2022   08:31 Diperbarui: 22 Desember 2022   08:34 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mimpi terbesar seorang wanita adalah menjadi seorang ibu dan berbahagia dengan keluarga kecil mereka.*

NB: *syarat dan ketentuan berlaku.

Kini negara sedang berduka karena telah lunturnya rasa hormat seorang anak kepada sang ibu, dan kini negara juga turut berduka atas merosotnya moral generasi muda. Semua harapan bangsa atas generasi emas nan cemerlang telah dilumat habis oleh gerusan globalisasi yang kian menghantam kualitas moral anak bangsa. Bagaimana tidak, egosentrisme kian menjadi tradisi. Contohnya saja anak jaman now yang sulit diatur oleh siapapun bahkan orang tuanya sendiri. Berlagak penuh kuasa dengan mengandalkan undang-undang perlindungan anak.

Daruratnya lagi, saat ini persekongkolan untuk menjerumuskan ibu kandung ke penjara rasanya bukan menjadi hal yang baru lagi, terlebih di negeri yang konon katanya sangat menjunjung etika dan moral ini. Tapi ada apa gerangan di negeri ini ketika hukum terbelit begitu mudah? Apakah ini menandakan didikan ibu sudah tak begitu penting? Lantas bagaimana hukum mampu menyikapi hal ini?

Rasanya menyeret seorang ibu ke dalam kasus sangat fatal akibatnya. Misalnya saja seorang anak yang rela melaporkan ibu kandung ke polisi demi berebut harta warisan dan baru baru ini yang berhasil bikin geger adalah seorang anak yang bersekongkol dengan ayahnya untuk melaporkan ibu kandungnya sendiri oleh karena si anak kepergok pacaran ‘ala dewasa’ dan  hanya karena tidak terima ditegur pacaran ‘secara bebas’ oleh ibunya.

Saat ini martabat seorang ibu sedang dipertanyakan. Untuk apa 22 Desember kita peringati sebagai hari ibu jika kasus ini masih menjadi momok menyeramkan bagi seorang ibu? Apakah hari ibu hanyalah sebatas seremonial belaka?

Yaps, tentu saja semua orang juga tau kalau Indonesia juga negara dengan menjamin persamaan di depan hukum. Semua orang berhak untuk mengadu ke aparat penegak hukum. Tapi coba kita simak kasus ibu yang menegur si anak yang telah pacaran kelewat batas. Apakah si ibu telah melakukan kesalahan sehingga harus dilaporkan untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya? Lantas perbuatan apa yang harus dipertanggungjawabkan? Perbuatan karena telah mendidik anak yang kemudian dituding melakukan kekerasan? Bukankah dengan mendukung aksi anak itu sama saja berhasil membuktikan bahwa ibu ini dan seluruh ibu di Indonesia telah kehilangan haknya untuk mendidik anak oleh karena hukum itu sendiri? Miris memang!

Yah! Memang menurut Pasal 15 huruf a dan f Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia menegaskan bahwa anggota polri dilarang untuk menolak atau mengabaikan permintaan pertolongan, bantuan atau laporan dan pengaduan dari masyarakat yang menjadi lingkup tugas, fungsi dan kewenangannya serta dilarang mempersulit masyarakat yang membutuhkan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan. Tapi tidakkah polisi tau kalau polisi juga berwenang untuk tidak membuat laporan polisi jika berdasar hasil kajian awal disimpulkan bahwa laporan tersebut dinilai tidak layak dibuatkan laporan polisi?

Apalagi si pelapor masih duduk di bangku SMP yang kondisi psikologisnya terbilang masih labil. Bisa-bisa kantor polisi jadi mainan bagi bocil. Harusnya sih hal ga perlu diajari lagi karena penyidik dianggap tau kondisi psikologis pelapor. Huft sangat disayangkan ya.

Jelas hal ini ga hanya berdampak untuk kasus ini semata tapi sangat berdampak terhadap Indonesia kedepannya. Tentunya orang tua tidak akan lagi bisa membina anak mereka karena anak akan mengancam orang tua dengan hukum. Alhasil sex bebas, pergaulan bebas dan pernikahan diri melonjak tajam. Kalau udah gini siapa yang repot? Toh juga negara kan yang repot. Masalah kemiskinan belum kelar, muncul lagi masalah lain. Beh boro-boro bikin negara makin maju, makin bobrok yang ada.

Jika melihat Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 yang merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak tepatnya pada Pasal 26 terlihat adanya jaminan hak bagi orang tua untuk mengasuh, memelihara, melindungi, dan mendidik anak, menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, minat, dan bakat anak, mencegah anak menikah pada usia dini, memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada anak. Jadi jelas dong, seluruh ibu berhak sepenuhnya kepada anak. Lalu apakah polisi masih berhak menindaklanjuti laporan? Kalau gue jadi polisinya sih ogah. Apalagi liat kelakuan anak jaman now yang bikin orang tua pusing tujuh keliling, kalau orang tuanya ‘lembek’ ya anak-anak akan seenaknya dan makin kurang ajar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun