Banyak orang memandang anak bungsu dengan sudut yang sama: dimanja, paling bebas, paling bahagia. Lahir di urutan terakhir seakan menjadi tiket emas menuju kehidupan keluarga yang ringan dan penuh cinta. Tapi siapa sangka, justru anak terakhir menyimpan banyak cerita yang tak pernah benar-benar terlihat dari luar. Di balik tawa renyah dan sikap ceria yang ia tunjukkan, ada beban yang tidak ringan. Ia bukan hanya menjadi penutup dari daftar anak-anak dalam keluarga, tapi juga menjadi harapan terakhir yang diam-diam dipasang oleh orang tua.
Menjadi anak paling akhir bukan berarti menjadi yang paling tidak penting. Justru sebaliknya, banyak keluarga secara tidak sadar menaruh ekspektasi paling besar pada si bungsu. Ketika anak-anak sebelumnya sudah berjalan jauh, membentuk keluarga baru, atau bahkan sibuk mengejar dunia, maka anak terakhir yang sering kali masih tinggal di rumah menjadi tempat terakhir bersandar. Di masa tua yang mulai datang pelan-pelan, orang tua akan mulai banyak bergantung, dan pilihan paling realistis biasanya jatuh pada si bungsu.
Apalagi jika jarak usia dengan kakak-kakaknya terpaut jauh. Ia seperti tumbuh dalam dua zaman. Ia menyaksikan kakaknya tumbuh dan pergi, sementara ia sendiri masih belajar merangkak di rumah yang perlahan-lahan mulai sepi. Ketika kakak-kakaknya sudah jarang pulang dan ruang keluarga kehilangan suara ramai, anak terakhir menjadi satu-satunya teman bicara bagi orang tua. Bahkan dalam banyak kasus, ia juga yang ditunjuk untuk memegang tanggung jawab paling penting: menjaga rumah, menjaga orang tua, menjaga kenangan.
Dari sisi emosional, menjadi anak terakhir memang unik. Ia tumbuh di tengah cerita yang sudah berjalan cukup panjang. Kadang ia merasa menjadi penonton, bukan tokoh utama. Banyak keputusan sudah dibuat sebelum ia cukup besar untuk ikut berpendapat. Banyak kenangan yang tak ia alami, tapi tetap ditaruh di pundaknya. Bahkan ketika masalah lama muncul kembali, anak terakhir sering menjadi orang yang dimintai pandangan, seakan ia punya kacamata yang lebih jernih karena datang paling belakangan.
Namun, di balik itu semua, ada cinta yang juga berbeda. Anak terakhir biasanya mendapat kasih sayang yang lebih lembut. Orang tua sudah tidak sekeras dulu, sudah tidak terlalu ambisius. Mereka lebih bisa mendengar, lebih bisa memahami. Maka hubungan antara anak terakhir dan orang tua sering kali lebih hangat, lebih dekat secara emosional. Tak jarang, anak bungsu jadi tempat curhat, jadi penampung rahasia, bahkan jadi perantara komunikasi antar saudara yang sudah jarang bertemu.
Tetapi kedekatan ini juga menimbulkan tanggung jawab moral. Ketika orang tua sedang tidak sehat, ketika keluarga menghadapi keputusan sulit, anak terakhir sering kali tidak punya pilihan selain tetap tinggal. Ia menunda mimpinya, mengatur ulang rencananya, dan menyimpan sementara keinginannya sendiri. Semua itu dilakukan bukan karena dipaksa, tapi karena merasa wajib. Ia sadar, jika bukan dirinya, maka siapa lagi?
Sementara teman-temannya mulai terbang tinggi, anak terakhir justru sedang menggenggam erat tangan ibunya di ruang perawatan. Ketika yang lain sibuk berkompetisi di luar sana, ia sedang mencari cara agar tagihan rumah bisa dibayar tepat waktu. Ia tahu betul, bahwa menjadi anak terakhir tidak hanya tentang menjadi yang paling kecil, tapi juga yang terakhir dimintai tolong.
Dan di titik ini, ada beban lain yang jauh lebih emosional: kejar-kejaran dengan waktu. Tepatnya, dengan usia orang tua. Saat anak terakhir sedang sibuk merintis karier, mengejar ijazah, atau mencoba membuka jalan di dunia yang keras, orang tuanya perlahan mulai menua. Di benaknya, selalu ada pertanyaan yang mengendap: apakah mereka akan sempat melihat aku berhasil? Apakah nanti saat aku bisa memberi hadiah pertama dari gajiku, mereka masih sehat? Perasaan ini menekan dalam diam. Ia ingin sukses, tapi tidak untuk pamer. Ia hanya ingin melihat senyum ayah ibunya yang bangga, selagi masih ada waktu. Maka banyak anak terakhir yang mempercepat langkahnya bukan karena ingin menang dari orang lain, tapi karena takut datang terlalu terlambat.
Perasaan itu seperti berdiri di dua sisi tebing. Di satu sisi, ia ingin menikmati proses, membangun segalanya dengan hati-hati. Tapi di sisi lain, ada waktu yang terus menekan. Kadang malam ia terjaga, memikirkan bagaimana caranya agar semuanya bisa lebih cepat, lebih tepat. Ia sadar, usia orang tua tidak bisa diminta berhenti. Maka ia mempercepat langkah, meski kadang harus menahan sakit, menahan kecewa, dan mengorbankan mimpinya sendiri.
Namun bukan berarti semuanya kelabu. Ada juga kebahagiaan yang hanya bisa dirasakan oleh anak terakhir. Misalnya ketika melihat ayah tertawa karena ditemani minum teh sore, atau ketika mendengar ibu bercerita panjang tentang masa mudanya. Kebersamaan itu mungkin sederhana, tapi sangat berharga. Anak terakhir tahu, waktu tidak akan mengulang masa-masa itu. Maka ia memilih tinggal, bukan karena tidak mampu pergi, tapi karena tidak ingin kehilangan momen yang tidak akan kembali.
Kadang ia merasa lelah. Merasa tidak adil. Tapi di saat yang sama, ia juga merasa paling dekat dengan akar keluarganya. Ia tahu hampir semua cerita. Ia tahu alasan mengapa kakaknya tidak suka pulang, tahu rahasia kecil ibu yang tak pernah dibagi ke siapa pun. Ia juga tahu bagaimana ayah diam-diam menyimpan kekecewaan. Semua itu ia simpan sendiri, karena ia dianggap cukup kuat untuk menanggungnya.