Mohon tunggu...
Viola Eva Reditiya
Viola Eva Reditiya Mohon Tunggu... Mahasiswi Magister

Banyak orang gagal dalam hidup karena tidak menyadari seberapa dekat mereka dengan kesuksesan ketika mereka menyerah (Thomas Edison).

Selanjutnya

Tutup

Diary

Cerita Mudik (Diary Kilometer di Balik Klakson)

27 Maret 2025   23:57 Diperbarui: 27 Maret 2025   23:57 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Mudik (Sumber : AI) 

Mudik. Kata sederhana yang selalu berhasil membuat hati banyak orang berdebar. Bukan cuma soal pulang kampung, tapi juga soal perjalanan, rindu, dan tentu saja... klakson yang tak pernah berhenti. Mudik bukan sekadar perjalanan pulang. Ia adalah ritual emosional yang mengingatkan bahwa sejauh apa pun kaki melangkah, hati selalu punya arah kembali.

Setiap tahun, jutaan manusia di negeri ini berbondong-bondong melawan waktu, macet, dan lelah. Dari jalan tol yang memanjang tanpa ujung, rest area yang penuh sesak, hingga terminal yang dipenuhi wajah-wajah lelah semua menjadi saksi bisu perjalanan rindu yang tak pernah benar-benar selesai. 

Di balik kemacetan yang tak jarang membuat gelisah, selalu ada kisah kecil yang luput dari perhatian. Seorang ibu yang membawa rantang berisi masakan khas kampung halaman, berharap bisa menyuapi anak-anaknya saat sampai nanti. Seorang ayah yang diam-diam menahan kantuk, mengemudi berjam-jam demi bisa mengetuk pintu rumah orang tuanya di pagi Lebaran. Anak-anak yang tertidur di pangkuan, tak tahu bahwa perjalanan panjang ini diselipkan harapan dan cinta tanpa syarat

Klise memang, tapi perjalanan mudik selalu punya caranya sendiri mengajarkan arti kesabaran. Tak ada yang benar-benar bisa menebak berapa lama waktu tempuhnya. Kadang jalanan lengang, kadang penuh sesak seperti parade tak berujung. Tapi di sanalah letak hikmahnya bagaimana manusia belajar menerima keadaan, mengelola amarah saat klakson bersahut-sahutan, dan tetap tersenyum di tengah kelelahan.

Rest area di sepanjang jalan menjadi tempat singgah yang penuh cerita. Di sana, segala sekat kehidupan tiba-tiba menghilang. Orang-orang dari berbagai latar belakang duduk berdampingan menikmati kopi panas dan mie instan. Obrolan random tercipta, dari kabar kampung halaman, harga tiket, hingga keluhan soal macet yang tak kunjung usai. Semua menjadi satu, terikat dalam misi yang sama: pulang.

Kilometer demi kilometer, waktu berjalan perlahan. Di balik kaca kendaraan, pemandangan berubah: dari gedung tinggi kota, berganti hamparan sawah, perbukitan, dan jalan desa yang penuh kenangan. Di sanalah momen paling jujur dari perjalanan ini ketika rasa lelah terbayar dengan senyum yang menanti di ujung jalan.

Perjalanan mudik selalu jadi pengingat bahwa hidup ini pun sejatinya adalah perjalanan panjang. Penuh rintangan, tak selalu mulus, seringkali membuat lelah dan ingin menyerah. Tapi pada akhirnya, semua yang dilalui akan bermuara pada sesuatu yang hangat dan bernilai: rumah, keluarga, dan rasa pulang yang tak tergantikan.

Setiap klakson yang terdengar di perjalanan adalah alarm kecil, mengingatkan bahwa di luar segala hiruk-pikuk, ada hati-hati yang menunggu. Setiap kilometer yang ditempuh bukan sekadar angka di aplikasi navigasi, tapi jejak perjuangan untuk menunaikan rindu yang selama ini tertahan.

Mudik mengajarkan, bahwa kadang perjalanan bukan soal cepat sampai, melainkan tentang apa saja yang bisa dipelajari, direnungi, dan disyukuri di sepanjang jalan. Hidup seringkali memaksa manusia untuk terus berlari, mengejar target, memburu waktu. Tapi mudik, dengan segala dramanya, memaksa untuk berhenti sejenak, menengok ke belakang, dan mengingat asal-muasal semua langkah dimulai.

Di balik klakson yang bersahut-sahutan, di tengah antrean panjang rest area, terselip kisah kecil tentang kesabaran, pengorbanan, dan cinta yang sederhana. Karena sejatinya, mudik bukan hanya soal perjalanan pulang, tetapi perjalanan kembali menjadi manusia  yang mengerti makna rumah, keluarga, dan arti pulang dalam makna yang paling dalam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun