Mohon tunggu...
Vincentius Lionel Justin
Vincentius Lionel Justin Mohon Tunggu... SMA Kanisius Jakarta

Mencoba mewujudkan pondasi nalar yang kritis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Vandalisme sebagai Bentuk Penyimpangan Penyaluran Kreativitas oleh Remaja

25 Oktober 2024   21:08 Diperbarui: 23 November 2024   07:47 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Meja Hasil Vandalisme di Kolese Kanisius

Apakah Anda pernah merasa terganggu dengan coretan di cermin lalu lintas (cermin cembung) di sudut tikungan jalan? Apakah Anda pernah melihat coretan cat Pilox di dinding pembatas jalan, jembatan, atau pagar rumah? Jika pernah, maka Anda telah menyaksikan bentuk vandalisme. Menurut Lase (2003), vandalisme adalah tindakan merusak berbagai objek lingkungan fisik dan buatan, baik milik pribadi maupun fasilitas umum sehingga menimbulkan kerugian. 

Vandalisme marak terjadi pada fasilitas umum di ruang publik salah satunya adalah sekolah. Pelaku vandalisme ini adalah remaja yang masih berstatus sebagai pelajar. Para pelajar menggambar, menulis, mewarnai, bahkan hingga memotong fasilitas belajar di kelas, seperti meja, kursi, papan tulis, dan poster. 

Seperti yang terjadi di Kolese Kanisius baru-baru ini, para siswa menggambar objek tidak senonoh--mengandung unsur perundungan, rasisme, dan pornografi--pada papan tulis digital atau smartboard di dalam kelas. Aksi vandalisme tersebut berhasil diketahui oleh guru yang tidak sengaja melewati selasar depan kelas dan dihentikan. Aksi itu tersebar ke seluruh telinga guru Kolese Kanisius dan menjadi perbincangan hangat. Sementara itu, ketika ditanya alasan melakukan vandalisme di papan tulis digital, mereka berdalih iseng dan bercanda.

Tidak hanya papan tulis digital, meja dan kursi turut menjadi korban aksi vandalisme oleh oknum siswa. Meja belajar terisi penuh dengan gambar berbau pornografi dan SARA serta kayu alas duduk pada kursi juga dilepaskan dari lem yang merekatnya. Tidak ada satupun meja belajar di dalam kelas yang bersih dari noda dan coretan.

Mengutip laman Telos, penyebab utama pelajar remaja melakukan aksi vandalisme adalah ketidakmampuan individu dalam melakukan manajemen stres. Efeknya muncul emosi mentah dan liar yang tidak disaring lalu dilampiaskan ke benda di sekitarnya. Selain itu, lemahnya penegakkan hukum dan pemberlakuan sanksi bagi para pelaku vandalisme menjadi alasan rantai persoalan ini tidak pernah putus. Banyak pula dari mereka yang sekadar ikut serta--berlindung di balik tradisi atau turun temurun--dalam aksi pelanggaran tanpa sadar betapa merugikannya dampak yang dihasilkan. Mereka merasa tidak perlu bertanggung jawab--bahkan memperparah kerusakan--terhadap meja yang sudah dirusak oleh kakak kelas sebelumnya. 

Contohnya meja yang disayat oleh penggaris dan pencopotan kayu alas duduk pada kursi menimbulkan rasa tidak nyaman bagi siswa lain. Dalam hal ini, suatu barang akan kehilangan nilai gunanya. Ketika menulis tepat di lubang meja (bagian yang tersayat) tentu akan menyebabkan kerusakan pada kertas. Dengan demikian, barang yang dirusak tidak akan awet dan memaksa pihak sekolah untuk memperbaiki kerusakan. Selain memakan biaya, meja yang telah terkontaminasi oleh berbagai coretan harus diamplas sebanyak tiga kali, dipoles oleh wood filler, dan dicat. Proses tersebut memakan tenaga yang besar dan waktu selama satu hari untuk membersihkan satu meja.

Fenomena vandalisme menjadi tanggung jawab primer pihak sekolah. Sekolah harus menyajikan nilai hidup dan memastikan setiap siswa mengenal nilai tersebut secara mendalam. Caranya dengan menitikberatkan pada dialog bersama siswa.

Masa remaja adalah masa bagi individu untuk membuat berbagai macam keputusan mendasar. Keputusan yang dihasilkan seringkali berasal dari emosi sesaat bukan rasionalitas dan akal sehat. Oleh karena itu, banyak orang mengatakan, "Masa remaja adalah masanya salah." Kutipan kalimat tersebut sesungguhnya hendak menggambarkan apa yang dialami oleh anak muda zaman sekarang, seperti sulit mengidentifikasi jati diri, mudah goyah dan bimbang, serta reaktif. Pengambilan keputusan yang logis menjadi lebih sulit karena kuatnya arus informasi di dunia digital saat ini. Informasi yang beredar tanpa pengawasan dan penyaringan akan memengaruhi keputusan dalam dirinya.

Nilai Journeying with Youth dalam Universal Apostolic Preferences menjadi jawaban perkara ini. Guru di sekolah harus mampu menjadi pendidik sekaligus teman bercerita bagi para remaja yang seringkali kehilangan kesempatan untuk mencurahkan isi hati. Selain itu, para siswa harus rutin melakukan Latihan Rohani--Examen Conscientiae, Consideratio Status, electio, dan Aksi Mawas Diri--yang bermanfaat untuk menemukan suara hati Tuhan. Refleksi memudahkan anak muda dalam membentuk identitas dirinya masing-masing sesuai panggilan dan kehendak Tuhan.

Aksi vandalisme yang terjadi di Kolese Kanisius mengakibatkan banyak kerugian. Aksi tersebut disebabkan karena sikap acuh tak acuh, tidak punya empati, dan kurangnya kesadaran untuk membedakan kebaikan dan kejahatan. Oleh karena itu, para senior (guru dan karyawan) harus mampu merangkul para siswa untuk berjalan bersama dan mendengarkan isi hati sekaligus pikirannya. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun