Mohon tunggu...
Vincent Fabian Thomas
Vincent Fabian Thomas Mohon Tunggu... Mahasiswa, Pers Mahasiswa -

Sarjana Teknik Industri Universitas Parahyangan Bandung - Jurnalis mahasiswa @ Media Parahyangan - Kunjungi : mediaparahyangan.com - Email : vincentfabianthomasdharma@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Gerakan Satu Oktober dalam Bayang Ilusi Sejarah

30 September 2015   07:17 Diperbarui: 30 September 2015   07:17 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

 

Penyebutan judul di atas bukanlah sengaja salah tulis, melainkan membenarkan fakta bahwa peristiwa yang ditafsirkan sebagai pemberontakan pada 1 Oktober dini hari sehingga disebut Gerakan Satu Oktober (Gestok). Namun, orang-orang lebih akrab dengan sebutan Gerakan 30 September (G30S) dengan atau tanpa Partai Komunis Indonesia (PKI). Meskipun demikian, detail peristiwa masih kurang terang termasuk yang pernah diajarkan sewaktu sekolah.

Secara garis besar, kebanyakan dari kita umumnya mengetahui bahwa terjadi penculikan tujuh jendral pada 1 Oktober dini hari. Penculikan itu juga disebut-sebut sebagai upaya PKI untuk mengganti dasar negara (Pancasila) dan UUD 1945. Adapun ketujuh jendral tersebut adalah Jendral TNI Anumerta Ahmad Yani, Letjen TNI Anumerta MT Haryono, Letjen TNI Anumerta S Parman, Letjen TNI Anumerta Suprapto. (Mayjen TNI Anumerta Sutoyo Siswomiharjo, Mayjen TNI Anumerta DI Panjaitan, Kapten Czi Anumerta Pierre Tendean.

Selanjutnya, sumber-sumber sejarah juga mengatakan bahwa mereka pada akhirnya dibawa ke suatu tempat yang kita kenal sebagai “Lubang Buaya” untuk disiksa dan dihabisi nyawanya. Disamping itu, mereka yang terlibat dalam penyiksaan itu juga disebut-sebut terdiri dari anggota Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), Pemuda Rakyat, dan PKI meskipun pasukan pengaman presiden (paspamres) juga disebut-sebut ikut terlibat. Tidak hanya penculikan, sejarah juga mencatat bahwa mereka juga menguasai 2 sarana komunikasi vital untuk menyebarkan kabar gerakan tersebut. Dua sarana tersebut adalah Studio Radio Republik Indonesia (RRI) Pusat Jakarta yang berada di Jl. Merdeka Barat dan Kantor Telekomunikasi yang berada di Jl. Merdeka Selatan.

Selain itu, beredar pula versi lain dari penafsiran peristiwa tersebut. Penafsiran lain justru menyebutkan keterlibatan TNI AD dan Soeharto. Namun, bentuk keterlibatan itu bukan dalam gerakan tersebut, melainkan dengan membiarkannya terjadi, meskipun saat itu TNI AD memiliki peluang untuk mencegah gerakan tersebut. Hal itu disebabkan lantaran TNI memiliki kepentingan lain yaitu merebut pemerintahan yang saat itu dipegang oleh tiga kekuatan besar pada waktu itu. Mereka adalah Soekarno bersama jendral pendukungnya, TNI AD, dan PKI sebagai pemenang pemilu tahun 1955.

Setelah gerakan tersebut terlaksana, momen itu dimanfaatkan oleh TNI AD untuk menuduh PKI melakukan perbuatan kejam dan usaha kudeta. Ditambah lagi, dengan terbunuhnya jendral-jendral pro Soekarno, kekuatan TNI AD semakin meluas sehingga dapat menekan PKI yang waktu itu juga dilindungi Soekarno melalui NASAKOM (Nasionalis Agama Komunis). Hal itu juga yang selanjutnya dimanfaatkan Soeharto menjadi propaganda pembubaran PKI, pembersihan kabinet dari unsur PKI, hingga PKI sebagai ancaman konstitusi.

Setelah dua versi tersebut, terdapat versi lain yang menyebutkan keterlibatan Amerika melalui Central Inteligence Agency (CIA). Berdasarkan versi tersebut, disebutkan bahwa tidak ada satu pun orang Indonesia yang mampu merancang aksi semacam itu. Ditambah lagi dengan kekhawatiran blok Barat terkait penyebaran paham Komunis, Amerika pun diduga turut mengambil andil dalam perancangan kudeta tersebut. Disamping itu, orang yang diduga mendalangi aksi tersebut bernama Marshal Green, mantan Kedubes Amerika yang juga pernah bertugas di Vietnam.

Fakta lain yang dianggap mendukung versi di atas yaitu sulitnya pihak asing untuk menyentuh sumber daya alam di Indonesia. Selama pemerintahannya, Soekarno terkenal sulit dilobi pihak asing termasuk menolak bantuan blok Barat dengan ucapan, “Go to hell with your aid.” Hal itulah yang diduga teori-teori berhaluan konspirasi justru menekankan adanya lobi pengusaha Amerika terhadap CIA untuk merencanakan kudeta tersebut. Fakta tersebut juga didukung oleh artikel Lisa Pease berjudul “JFK, Indonesia, CIA, dan Freeport”  yang diterbitkan Majalah Probe pada Maret-April 1996 menyebutkan keterlibatan PT Freeport dalam kudeta tersebut.

Akan tetapi, dari berbagai versi Gestok di atas, hal lain yang perlu dicermati adalah hal-hal yang terjadi pasca Gestok. Secara umum, baik buku-buku maupun situs mengenai sejarah Indonesia hanya mencatat penumpasan Gestok, Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) hingga dimulainya Orde Baru. Namun, sepanjang tahun 65-66 justru tersimpan sejarah kelam bangsa Indonesia yang belum juga diakui. Penyebab utama tidak diakuinya sejarah itu adalah hal itu merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Mirisnya lagi, cara-cara seperti penghilangan paksa, penyiksaan, pembunuhan, dan penyekapan justru menjadi cetak biru kejahatan HAM selanjutnya dalam negeri ini.

Kejadian itu pula yang dicatat Soe Hok Gie pun dalam catatan hariannya yang kemudia diterbitkan menjadi Catatan Seorang Demonstran. Ia mencatat, sekurang-kurangnya telah terjadi pembunuhan 80.000 orang yang dituduh sebagai PKI di Bali pada tahun 65-66. Disamping itu, ia menggambarkan para pembantai dengan pakaian serba hitam dan bersenjatakan pedang, pisau, pentungan dan bahkan senjata api. Ia juga menulis bahwa rumah-rumah penduduk yang diduga sebagai anggota PKI dibakar sebagai bagian dari pemanasan bagi dilancarkannya tindakan-tindakan yang lebih kejam.

Selain Soe Hok Gie, film berjudul “Jagal (The Act Of Killing)” dan “Senyap (The Look Of Silence)” seorang sutradara Amerika bernama Joshua Oppenheimer juga mengangkat kisah serupa. Kedua film itu menceritakan pembantaian yang dilakukan di dua daerah berbeda yakni Medan dan Banten. Dalam film itu, para pelaku yang disebut algojo mengaku tidak merasa bersalah dan hanya menjalankan perintah negara. Bahkan, meskipun secara tegas melanggar kemanusiaan, baik para algojo maupun pimpinan menyebut dirinya sebagai pahlawan. Entah mengapa hal-hal tersebut justru dibenarkan negara dan terlebih lagi, agama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun