Air mata? Dan tak hanya tangkupan jari yang harus menyeka kelopak mata namun bulu kuduk leher meminta saya sentuh. Lagu Indonesia Pusaka memang selalu berhasil meruntuhkan pertahanan hati saya akan keharuan. Dan semua lebih pecah saat Trie Utami melafalkan lirik lagu Indonesia Pusaka dalam pementasaan Sound of Borobudur, mata saya menjadi lebih perih. Ah senandung dan rentetan bunyi alat musik yang tepat memang tarian jiwa yang menarik jiwa senada yang lain.
Pertunjukan Sound of Borobudur memang berdinamika mengalunkan simfoni yang kali ini terdiri dari satu komposisi baru dari Dewa Budjana dan dua aransemen lagu. Alunan akustik Jataka yang dibunyikan sebagai penerjemahan relief Jataka, sebagai pembuka berhasil membuat saya menggerakan kepala dengan kegembiraan. Terlintas bagaimana sukacita para fauna sekitar Sambara Budhara pada abad 7 saling berinterasi. Ah sejenak menjadi time traveler, melompati waktu untuk bersama leluhur yaitu masyarakat Kedatuan Medang atau pada masa sekarang dikenal sebagai Kerajaan Mataram Kuno.
Waditra Peradaban Klasik
Benar Jimbe ini untuk anak-anak kak? Kakak ikhlas? Saya tersenyum setelah dua menit sebelumnya meminta ijin menabuhkan Jimbe terahkir kali sebelum berpindah tangan ke pangkuan teman yang berasal dari pulau Kei Kecil. Dari kisahnya sebagai relawan literasi setempat, musik memang menjadi bahasa penyambung antara anak-anak dengan relawan. Sekiranya Jimbe yang saya serahkan bisa sedikit membantu relawan menarik perhatian anak-anak pantai untuk datang ke rumah literasi dan ahkirnya mau belajar bersama. Apa yang menurut kita sederhana bisa jadi sebaliknya bagi orang lain memang.
Kisah Jimbe ini mengalir kembali ke ingatan saat menyaksikan presentasi sekaligus pertunjukan Sound of Borobudur dalam tema besar  Borobudur pusat musik dunia . Dijabarkan bahwa Jimbe merupakan salah satu waditra (alat musik) yang terpahat rapi dari 200 relief musik Candi Borobudur. Deretan relief tersebut antara lain: Karmawibhangga, Awadana Jataka dan Lalita Vistara.