Mohon tunggu...
Xavier Kharis
Xavier Kharis Mohon Tunggu... -

“Dalam kesadaran moral ku, mata Allah menatapku, dan sejak itu, tak pernah dapat aku melupakan bahwa mata itu memandangku” (Kierkergaard)

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Berdamai dengan "Fiksi"

1 Februari 2019   23:13 Diperbarui: 2 Februari 2019   00:16 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

"Kalau saya pakai definisi bahwa fiksi itu mengaktifkan imajinasi, kitab suci adalah fiksi"

Begitulah pernyataan Rocky Gerung dalam acara Indonesia Lawyers Club pada 10 April 2018, yang kemudian menjadi kontroversi hingga disebut sebagai penistaan agama. Sebenarnya kalau diuji dalam silogisme, argumen pak Rocky bisa diterima karena memiliki conditional "bila" dan "maka". 

Dalam beberapa kesempatan, saya sendiri telah menyaksikan bahwa pak Rocky juga telah memberikan penjelasan tentang conditional tadi. Sehingga, sebenarnya argumen tersebut bisa saja dipatahkan juga dengan menggunakan silogisme dengan membatalkan "bila" dalam silogisme pak Rocky. Ternyata masalah ini simple bukan? Tentu saja! Akan tetapi saya mencoba mengaitkan argumen pak Rocky secara dengan menggunakan sudut pandang teologi.

Saya tidak membela pak Rocky, karena argumen beliau bukan soal benar salah. Sebagai orang yang belajar filsafat dan teologi, saya paham bahwa pak Rocky tidak hanya sedang berargumen, tetapi juga memberikan dekonstruksi terhadap definisi fiksi. Maklum, orang yang belajar filsafat seringkali gerah dengan "rezim kepastian" (strukturalis) hehehe.

Tetapi disini saya mencoba menafsirkan pemikiran beliau sehingga muncul pemahaman mengapa kitab suci dapat disebut fiksi (mengaktifkan imajinasi). Secara hermeneutis, hal tersebut wajar saja dan tidak ada yang salah. Justru bagi saya pribadi keindahan dan seni dari membaca kitab suci adalah dengan menggunakan kemampuan imajinasi itu. Karena mau bagaimanapun kitab suci tersebut memiliki unsur sebagai karya sastra. Kemudian bagaimana kita mampu menafsirkan dan memahami pesan atau makna yang disampaikan dalam teks itu? Dengan menggunakan imajinasi untuk mengkonstruksi kisah dalam teks tersebut dalam pikiran kita. Itulah mengapa kemudian kitab suci disebut mengaktifkan imajinasi. Karena dalam pembacaan tersebut, ada imajinasi yang perlu kita bangun untuk mencoba memahami dan menafsirkan.

Sampai disini kita sudah mendapat gambaran pemahaman mengapa kitab suci bisa dikatakan mengaktifkan imajinasi..

Kemudian kita beralih kepada persoalan fiksi. Sebenarnya fiksi telah menjadi peyoratif. Ini bukan kodrat dari kata tersebut, tetapi ada stigma yang sudah terlebih dahulu ditempelkan pada kata fiksi ini, hingga membuatnya menjadi peyoratif. Hal ini sebenarnya bergantung dari bagaimana cara kita memahami sebuah definisi. 

Contohnya, jika kita melihat KBBI maka ada beberapa definisi dalam sebuah kata. Namun pertanyaannya apakah kita memahami definisi itu secara apa adanya, atau melalui ragam definisi yang dipaparkan kita menafsirkan kembali definisi yang sudah ada, disitulah letak permasalahan yang ada. Karena ada orang yang memang memahami apa adanya, atau memahami dengan mendalami, menafsirkan, dan menelusuri definisi yang sudah ada untuk mencoba menggali makna yang kurang dipahami oleh orang banyak atau bahkan tersembunyi.

Dalam dunia filsafat, ada tokoh filsafat abad ke- 20 bernama Jacques Derrida yang terkenal dengan dekonstruksi. Dekonstruksi ini merupakan sebuah penataan untuk menyingkap makna-makna yang terpinggirkan atau terabaikan (Haryatmoko, 2016:133) . Konsep ini yang seharusnya sering dimunculkan dan dikembangkan dalam hidup kita sebagai eksistensi yang berpikir. Mengapa? Karena hidup merupakan pencarian akan makna. Oleh karena itu dalam pencarian akan makna, akan lebih baik bagi kita untuk melepas strukturalis atau kepastian (kemutlakan) dalam hidup ini. Apa yang dilakukan oleh pak Rocky bagi saya merupakan upaya untuk melepas kemutlakan tadi, demi pencarian akan makna.

Hal itu juga dapat kita temukan dalam pemikiran filsuf abad ke-20 lainnya, bernama Michel Foucault. Beliau dikenal dengan konsep "arkeologi" dalam bukunya yang berjudul "The Archaeology of Knowledge". Arkeologi menurut Foucault berarti sebuah penggalian historis dari suatu episteme (proses pembentukan pengetahuan). Sehingga, pengetahuan bukanlah suatu hal yang ada dengan sendirinya, melainkan terjadi atas berbagai proses yang terjadi. Dan proses itulah yang coba digali melalui arkeologi yang dimaksud oleh Foucault (Foucault, 2002:106-107).

Dari sini, kita harusnya bisa memahami apa yang menjadi tujuan pak Rocky yang dinilai mengobrak-abrik definisi fiksi yang sudah dari dulu dipahami secara umum. Pak Rocky sebenarnya tidak sedang merusak atau membongkar kata fiksi begitu saja, tetapi ada proses dekonstruksi (penataan ulang) yang beliau berikan, yang kemudian memberikan kita pemahaman baru terhadap fiksi itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun