Mohon tunggu...
Vidia Paramita
Vidia Paramita Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pemimpi yang banyak tidur. Penidur yang banyak mimpi. www.vididisini.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Siapkah Jakarta untuk Gubernur Berketurunan Cina?

27 Juli 2011   13:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:19 48450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13118030761809614429

Namanya Basuki Tjahaja Purnama, seorang anggota DPR Komisi II. Banyak orang mengernyitkan dahi atas langkah-langkahnya karena dianggap tidak lazim. Di saat anggota DPR lainnya curi-curi waktu dan uang jalan, dia melaporkan perincian keuangannya. Di saat rekan DPRnya malu karena didapati tidak mengetahui e-mail formal Komisi V, ia bukan saja aktif berkomunikasi lewat facebook, dan websitenya, tapi juga tidak segan memberikan nomor telpon pribadinya. Di wawancaranya bersama Kick Andy, dia menyamakan dirinya dengan ikan salmon, ikan mahal yang mengembara melawan arus. Gaya bicaranya blak-blakan, tidak seperti politisi yang sering kita temui yang jauh lebih sopan. Maklum, latar belakang pendidikannya bukan politik atau publik affairs, melainkan teknik geologi. Banyak yang merasa cara dia menjawab terlalu kasar, dengan memakai bahasa yang tidak difilter sehingga dipandang kurang cocok untuk menjadi pemimpin di pemerintahan yang harus bertutur kata baik. Dulunya ia menjabat sebagai bupati Bangka Belitung. Sekarang ia duduk di DPR. Dan baru-baru ini sedang menggalang dukungan untuk mencalonkan diri secara independen sebagai gubernur Jakarta. Banyak yang mempertanyakan pendidikannya, mampukah dia naik kelas untuk mengurus hal-hal yang lebih besar? Atau ada yang bertanya apakah pengalamannya sudah cukup untuk mengatur Jakarta dengan segala keruwetannya? Apakah ia cukup karismatik untuk memimpin? Semua itu pertanyaan yang wajib kita tanyakan atas semua calon gubernur. Kemudian mari kita bahas bisik-bisik di belakang: Pak Basuki, lebih sering dipanggil Ahok adalah seorang ketuturan Cina. Sehingga kali ini, selain kewajiban untuk meninterogasi calon pemimpin Jakarta, ada kewajiban untuk bertanya pada warga Jakarta: Siapkah jika dipimpin oleh gubernur berketurunan Cina? Sejarah warga keturunan di Jakarta tidak akan pernah lepas dari peristiwa Mei 1998, di mana ratusan rumah dibakar dan banyak gadis-gadis diperkosa, tidak diam-diam di dalam tapi di jalanan, agar semua orang tau bahwa terlahir Cina adalah dosa. Sudah 13 tahun waktu itu berlalu dan terlepas dari masalah siapa otak di balik kejadian itu, kita tahu bahwa masih ada tembok dan percikan perbedaan bernama ras di tengah masyarakat kita. Adakah yang berfikir, jika benar Ahok memimpin Jakarta akankah ada balas dendam  bagi sesama Cinanya yang dulu hilang? Atau akan kah dia berpihak pada bisnis-bisnis orang Cina? Mungkin ini lah ujian bagi bangsa Indonesia khususnya warga Jakarta untuk naik kelas. Di pelajaran moral PMP, PPKN, atau apalah itu namanya, kita selalu diajarkan untuk bersahabat dengan siapapun tidak memandang bulu. Dan tentang ras: Bhinneka Tunggal Ika, katanya. Tentang agama: Satu, ketuhanan yang maha Esa. Kini ketika dihadapkan pada kenyataan, dapatkah kita mempraktikkan apa yang dipelajari secara tertulis bertahun-tahun. Untuk naik kelas, kita harus menelaah pemimpin-pemimpin kita: mampu kah dia, jujur kah, terbuka kah, palsu kah janji-janjinya? Berulang-ulang kita dibohongi dan berulang-ulang kita rela. Sudah saatnya kita memilih dengan pikiran. Kalau dipikir, sebenarnya Indonesia cukup liberal. Jika kita bandingkan dengan Amerika, dari 44 presidennya, tidak ada satu pun yang wanita, kita punya Megawati. Dan juga tidak ada satupun yang penyandang cacat jenis apa pun, kita memiliki Gus Dur (alm.). Dan baru di presiden ke 44, mereka memiliki pemimpin berkulit hitam, berambut keriting (itu pun 50% hitam). Sedangkan kita baru punya 6 presiden. Dari fakta ini, saya kira kita sangat rindu untuk perubahan, sehingga kita tidak melihat apa dia wanita atau dia buta. Kita hanya ingin yang lebih baik, melihat kemampuannya, tidak fisiknya. Dalam satu acara Ahok bercerita bahwa ketika ia berkunjung ke suatu daerah, dia disapa oleh pemimpin daerah tersebut: Syalom! Dan ia pun bingung serta bertanya, daerah ini kan majoritas Muslim, kok Bapak bisa sapa dengan Syalom? Sang pemimpin pun berkata, kalau saya bertemu yang Muslim saya akan Assalamualaikum, jika Kristen saya sapa dengan Syalom, jika Hindu saya katakan Om Swasyastu. Dan Ahok pun berkata bahwa ini dia mindset yang harus diubah, bahwa salam berdasar agama, tinggalkan lah di tempat beribadah dan sesama penganut. Di pemerintahan "agama" kita hanya: ketuhanan yang maha Esa. Selebihnya hanya menimbulkan perbedaan secara negatif. Butuh 400.000 tanda tangan dan KTP Jakarta untuk pencalonan diri sebagai Gubernur secara independen dan itulah yang Ahok sedang lakukan. Saya berharap akan ada calon-calon lainnya tidak perduli keriting, hitam, Buddha, dan lain sebagainya untuk membawa ide-ide baru serta persaingan sehat untuk Jakarta. Lagipula Jakarta adalah mini Indonesia, orang datang dari mana-mana. Siap tidak siap perubahan harus terjadi, banjir harus berhenti, macet harus dilancarkan. Bukankah hanya itu yang kita maui?


Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun