Mohon tunggu...
Vidia Paramita
Vidia Paramita Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pemimpi yang banyak tidur. Penidur yang banyak mimpi. www.vididisini.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Satu, Ketuhanan yang Maha Esa

5 Oktober 2011   19:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:17 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kalau kita ditanya, ada berapa agama yang diakui di Indonesia? Sepertinya kebanyakan orang akan menjawab: lima, Islam, Protestan, Katolik, Hindu, dan Buddha. Kita sering lupa, atau bahkan tidak tahu bahwa ketika Gus Dus menjabat menjadi presiden RI, beliau mengukuhkan agama Konghucu sebagai agama ke-6. Saya ingat waktu masih di SD dan SMP, saya harus hafal nama dari kitab suci dan tempat beribadah masing-masing agama. Tapi sekarang, kalau tanpa mencari di Google, saya tidak tahu apa nama kitab suci atau tempat beribadah Konghucu. Saya juga tidak tahu berapa persen dari orang Indonesia yang menganut agama tersebut. Di saat penganutnya mulai berkurang dan sedikit karena banyak dari mereka yang pindah ke salah satu dari lima agama yang pertama kali ditetapkan, mereka mencapai titik terang. Pengakuan secara resmi ini datang sedikit terlambat, namun pada saat yang tepat, karena ini menunjukkan fleksibilitas pemerintahan dan melatih keterbukaan masyarakat. Bahwa pluralisme adalah Bhinneka Tunggal Ika, sesuatu yang membuat Indonesia pernah menjadi hebat, bukan momok yang mengganggu individualitas kita dalam pilihan-pilihan pribadi.

Sangat disayangkan ketika kita lihat banyak sekali pertempuran antar agama di Indonesia. Sesuatu yang ironis. Bukan kah agama seharusnya mendekatkan kita pada Sang Pencipta, siapa pun dia? Dan bukan kah kedekatan kita pada-Nya seharusnya membawa ketenangan luar biasa dalam kehidupan kita? Pandji Pragiwaksono, salah satu pelopor stand up comedy di Indonesia baru-baru ini mengangkat agama Islam di dalam bahan lawakannya. Dia bilang, dulu kalau orang bilang "Allahuakbar", kita jawab dengan "Alhamdulillah" rasanya damai sekali, seperti tidur di bawah pohon. Kalau sekarang kita denger "Allahuakbar" semua orang pada lari, takut rombongan motor akan datang sebentar lagi. Lawakannya disambut tepuk tangan dan tawa riuh pada penonton tanda setuju. Sayang sekali, citra Islam jadi rusak dan identik dengan rusuh seperti itu. Agama menjadi sesuatu yang ditakuti di Indonesia. Bukan hanya dalam bentuk kerusuhan beramai-ramai, tapi juga dalam kepercayaan kita pribadi. Sepertinya ia menjadi sesuatu yang kita tidak boleh sentuh dan pertanyakan sama sekali, dengan alasan, nanti masuk neraka, nanti menganut ajaran sesat, nanti durhaka pada pemimpin agama, dan lain-lain. Sehingga sering kali orang melaksanakan agama tanpa mengerti mengapa, juga tanpa ada kemauan untuk mengerti mengapa, karena bertanya itu tabu. Tapi parahnya, orang-orang yang sama dapat menjadi sangat sensitif serta posesif terhadap agamanya. Dan ketika ruang personalnya tersenggol sedikit, dia akan marah. Agama tidak seharusnya menjadi sesuatu yang kita takuti, baik secara ramai-ramai maupun secara pribadi. Seharusnya ia menjadi sesuatu yang kita cintai dari hati, karena kita manusia, bukan robot.

Agama sebagai sesuatu yang personal, saya dapat mengerti. Sehingga ketika kepercayaan kita diserang atau dipertanyakan, tentu sedikit banyak kita akan defensif dan tersinggung. Tapi ketika kita mempertahankan kepercayaan dengan menghancurkan dan meniadakan kepercayaan orang lain, itu sesuatu yang tidak masuk akal di kepala saya. Isu Ahmadiyyah yang tidak kunjung habis adalah salah satunya. Banyak dari kita yang sudah menonton adegan pemukulan terhadap warga Ahmadiyyah. Suatu tindak kriminal yang di depan mata, yang entah kenapa tidak mampu dilerai oleh aparat polisi. Atau pengeboman yang baru-baru ini terjadi di Gereja Kepunton, Solo dan pemngeboman malam-malam Natal sebelumnya. Apa mereka pikir dengan begitu masyarakat agama lain akan jadi berpindah keyakinan setelah "diperingatkan"? Atau apakah tujuannya untuk membunuh penganut agama lain satu per satu sampai orang yang tertinggal di dunia ini hanyalah agama mereka?

Sebuah kasus yang sedang terjadi yang tidak mendapat banyak antensi media saat ini adalah dibredelnya Gereja Yasmin di Bogor. Mereka diusir dari sana dengan berbagai alasan, mulai dari lokasinya yang terletak di jalan bernama tokoh Islam, ijin lokasinya yang dikatakan tidak jelas, sampai ke alasan bisik-bisik yaitu tempatnya yang strategis yang ingin dibeli orang dan gosip intensi walikota Bogor untuk lebih mengislamkan kotanya. Saya pikir dikasus-kasus seperti ini, masyarakat yang memiliki suara dan pengaruh terkuat adalah mereka yang beragama Islam yang percaya bahwa ini sebenarnya adalah suatu ketidakadilan. Kalau bisa ada masyarakat Muslim yang ikut membela mati-matian Gereja Yasmin ini, akan ada pergerakan besar awal dari persatuan Indonesia kembali. Seperti ketua umum NU yang waktu itu menjenguk korban bom Solo, seolah-olah mengatakan bahwa kami minta maaf atas dipakainya nama Islam untuk teror ini dan kami berada di kubu Anda yang mengecam perbuatan ini. Sama seperti ketika bom dan penembakan di Norwegia oleh seorang Kristen Anders Breivik yang menyebut dirinya "Crusader for Christendom" terjadi. Suara terkuat dan paling berpengaruh seharusnya adalah orang-orang Kristen yang mengecam perbuatannya dan ikut bersimpati dengan para korban.

Entah mengapa masalah agama menjadi sesuatu yang sangat-sangat sensitif sehingga kita lupa bahwa masih ada yang menyatukan kita umat beragama: bahwa kita percaya akan adanya kekuatan besar diluar kemampuan kita sendiri, yang kita sembah dan kita cintai, yang mencintai kita luar biasa. Tidak cukupkah itu bagi kita? Indonesia sebenarnya sudah berada di jalan yang benar. Sila pertama kita adalah: Satu, Ketuhanan yang maha Esa. Kita sering lupa. Masyarakat Konghucu sangat beruntung akan pengakuan negara bagi kepercayaan mereka. Perjalanan panjang menuju pengakuan tersebut. Kita juga harus ingat bahwa sebenarnya masih banyak lagi rakyat Indonesia yang butuh pengakuan itu. Kenalkah kita pada penganut Yahudi di Indonesia? Atau penganut Bahai, atau Kristen Ortodoks, dan lain sebagainya. Haruskah mereka berpura-pura hanya untuk sebuah status di KTP dan untuk mendapat pelayanan masyarakat lainnya seperti pendidikan dan kesehatan?

Ketuhanan yang maha Esa. Agama tidak bisa dipaksa.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun