Mohon tunggu...
Vidia Hamenda
Vidia Hamenda Mohon Tunggu... Ahli Gizi - pegawai

suka nulis dan jalan jalan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mari Satukan Visi Soal Bahaya Ekstremisme

24 Juni 2021   21:13 Diperbarui: 24 Juni 2021   21:27 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekitar 20 tahun lalu, tepatnya Oktober 2002 kita pernah sangat terkejut dengan bom dahsyat yang mengguncang Bali. Bom itu meledak di daerah Kuta tepatnya dan Paddys dan Sari Club.Bom dahsyat yang memakan korban sekitar lebih dari 2000 jiwa itu akhirnya kita sebut dengan Bom Bali 1. Bom kedua berlangsung di Bali juga sekitar tiga tahun kemudian, dengan puluhan orang meninggal.

Selain bom dahsyat di Bali kita tahu ada bom meledak di beberapa kota semisal Jakarta, Medan, beberapa kota di Jawa Timur dan Makassar. Rata-rata para pelaku menyasar rumah ibadah, tempat hiburan dan restoran dan kantor aparat keamanan.

Alasan utama mereka menyasar tempat-tempat itu adalah karena cara yang ditempuh para korban (semisal pengunjung di Paddys dan Sari club) adalah berbeda dengan keyakinan para pelaku. Para korban yang kebanyakan orang asing dianggap mereka kafir dan kerap melakukan hal-hal yang tidak seharusnya dilakukan. Bom Bali 1 disebut sebagai peristiwa terorisme yang paling mengerikan dan parah sepanjang sejarah Indonesia.

Para pelaku terutama yang menerima pidana mati seperti Imam Samudra, Ali Gufron, dan Amrozi disebut telah mengawasi sasaran pengeboman selama beberapa waktu dan memutuskan untuk melakukan peledakan di dua tempat itu karena alasan di atas. Dalam persidangan terungkap bahwa mereka tidak merasa bersalah dengan langkah yang mereka tempuh dan yakin bahwa tindakan itu membawa mereka ke surga.

Pandangan menyalahkan orang lain dan kemudian bertindak kejam pada orang lain itu sering kita sebut sebagai sikap ekstrem atau ekstremisme. Beberapa literatur menyebut bahwa ekstremisme adalah sikap yang berbasis keyakinan yang berlebihan bahkan superior. Mereka merasa lebih 'tinggi dan murni' dan kemudian mengajak orang lain untuk seperti dirinya dalam cara berfikir maupun bertindak.

Lebih jauh dari itu, dalam keseharian para pelaku ekstremisme cenderung bersikap eksklusif, dan tidak menerima perbedaan cara berfikir, keyakinan dan secara budaya. Dampak dari ara berfikir dan bersikap ekstremisme biasanya membuat dia menjauh dari keluarga dan teman sebaya, merasa berbeda dan meyakini apa yang menjadi sikapnya tanpa mau memperhatikan pandangan sekitar. Kita bisa melihat hal itu pada peristiwa ledakan bom di gereja Katedral dan penyerangan di Mabes Polri beberapa saat lalu.

Sehingga tidak salah jika kemudian Pemerintah mengeluarkan Perpres Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme pada Januari lalu. Ini tak lain untuk memberi penegasan bahwa bagaimanapun sikap dan tindakan ekstremisme merupakan musuh bersama sehingga layak untuk dicegah dan diberantas secara bersama-sama.

Dengan menyatukan visi yang sama soal ekstremisme kita berharap Indonesia dapat terbebas dari tindakan dan sikap diskriminatif, intoleransi dan tindakan ekstrem lainnya yang bisa terjadi pada warga Indonesia yang majemuk ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun