Mohon tunggu...
Langit Pemikiran
Langit Pemikiran Mohon Tunggu... Pemikir, Penulis

Peliharalah kebiasaan untuk tidak sekadar melihat permukaan, tetapi menggali lebih dalam tentang kehidupan, manusia, dan struktur sosial yang membentuk dunia, serta cobalah untuk memulai menyuarakan kegelisahan, keadilan, dan makna yang sering terabaikan dalam hiruk-pikuk dunia modern.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Eksklusivisme Iman dan Krisis Identitas Nasional

24 Juni 2025   17:12 Diperbarui: 24 Juni 2025   17:12 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Di tengah keberagaman yang menjadi fondasi berdirinya suatu bangsa, keyakinan semestinya menjadi energi moral yang menghidupkan solidaritas dan memperkuat ikatan sosial. Namun, ketika keyakinan berubah menjadi eksklusif, tertutup, dan defensif terhadap segala perbedaan, di situlah ia kehilangan jiwanya. Ia bukan lagi jalan menuju kedewasaan spiritual, melainkan alat untuk menentukan siapa yang dianggap "pantas" dan siapa yang harus disingkirkan. Dalam lanskap sosial seperti ini, nasionalisme tak hanya terganggu---ia terkikis pelan-pelan, digantikan oleh fanatisme yang menyempitkan makna hidup bersama.

Kita hidup di zaman ketika suara-suara ekstrem yang menyuarakan "kebenaran mutlak" begitu mudah mendapat panggung. Platform digital menjelma menjadi ruang publik baru, tetapi juga menjadi ladang subur bagi penyebaran klaim-klaim sepihak yang menolak keberagaman. Dalam ruang maya, algoritma menyatukan orang-orang yang berpikir serupa dan menyingkirkan yang berbeda. Di sanalah eksklusivisme tumbuh dalam senyap---dengan kemasan modern, visual menarik, dan retorika yang seolah bijak, padahal hanya menegaskan satu hal: "Kami yang benar, sisanya salah."

Tiba-tiba, ruang publik yang seharusnya jadi tempat bertemunya ide, justru berubah jadi arena saling menyerang. Bukan hanya keyakinan yang dibela, tetapi juga disertai penghakiman terhadap keyakinan orang lain. Bermunculan figur-figur yang mengklaim membela iman, tetapi dalam narasinya terselip penghinaan, generalisasi, dan sindiran kepada mereka yang berbeda jalan. Aktivitas yang seharusnya membangun pengertian malah menjadi alat mempertajam sekat. Ironisnya, ini semua dilakukan atas nama "pencerahan".

Padahal, nasionalisme tumbuh dari pengakuan bahwa tak semua orang akan berjalan di jalan yang sama, tapi semua berhak mendapat tempat yang setara. Ketika eksklusivisme mulai menguasai cara berpikir masyarakat, maka identitas kebangsaan tak lagi dilihat sebagai ruang persatuan, tapi sebagai ruang pertarungan identitas. Orang mulai memilih loyal pada kelompok sempitnya, bukan pada semangat hidup bersama. Bangsa menjadi rentan diseret ke dalam konflik horizontal, karena kepercayaan berubah menjadi garis pembatas, bukan jembatan penghubung.

Dampaknya tidak hanya menggerogoti nasionalisme di permukaan, tapi merembes jauh ke dalam kehidupan sehari-hari. Di lingkungan sosial, terjadi saling curiga karena perbedaan keyakinan diubah menjadi ancaman. Dalam keluarga, percakapan yang menyangkut pandangan hidup mulai dibungkam karena takut menyinggung. Di dunia pendidikan, ruang berpikir kritis dikebiri karena tidak sesuai dengan doktrin yang dianut mayoritas. Bahkan dalam ranah psikologis, lahir kecemasan kolektif: rasa takut untuk berpikir sendiri, rasa bersalah saat mempertanyakan sesuatu, dan perasaan terasing saat tidak ikut dalam arus mayoritas.

Masyarakat yang dibentuk oleh eksklusivisme iman tak akan pernah betul-betul damai. Mereka hidup berdampingan tapi saling menghindar. Mereka menyebut diri satu bangsa, tapi diam-diam merasa lebih tinggi dari yang lain. Di titik ini, kita tidak lagi bicara soal keyakinan spiritual, tapi soal ketegangan ideologis yang mengancam inti dari kebangsaan itu sendiri.

Kita lupa bahwa identitas nasional tidak dibangun dari satu jalan kebenaran, melainkan dari ribuan cara memahami hidup. Kebangsaan bukan proyek satu iman, satu tafsir, atau satu suara, melainkan keputusan bersama untuk hidup berdampingan dalam keragaman. Ketika keyakinan seseorang menjadi alasan untuk meremehkan atau menyingkirkan yang lain, saat itulah rumah kebangsaan mulai retak.

Jika bangsa ini ingin tetap utuh, maka tugas kita bukan menyeragamkan keyakinan, tapi membebaskan cara berpikir dari semangat menang sendiri. Bukan membungkam perbedaan, tapi merawat ruang diskusi agar tetap hidup. Bukan mengutuk yang tak sama, tapi mengakui bahwa kemanusiaan jauh lebih besar dari sekadar perbedaan keyakinan.

Dan jika eksklusivisme iman terus dibiarkan tumbuh tanpa batas, maka yang akan runtuh bukan hanya nasionalisme, tapi juga rasa saling percaya, rasa aman, dan rasa memiliki terhadap bangsa ini. Kita tak lagi hidup bersama, kita hanya tinggal bersebelahan---tanpa saling memandang, apalagi menyapa.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun