Mohon tunggu...
VICKY JANUAR FAHREZA
VICKY JANUAR FAHREZA Mohon Tunggu... Mahasiswa

Seorang Mahasiswa, Anak, Saudara, Teman.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Isu tarif Impor Donald Trump Jilid ke-2! Semakin Memanas?

19 April 2025   20:32 Diperbarui: 19 April 2025   20:32 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Perdagangan internasional merupakan salah satu pilar utama dalam hubungan ekonomi antarnegara yang memungkinkan pertukaran barang, jasa, dan modal lintas batas. Konektivitas ekonomi antanegara di era globalisasi ini semakin menguat dan menjadikan kebijakan ekonomi dan perdagangan suatu negara besar dapat berdampak luas terhadap pergerakan ekonomi global.

Sebagai negara dengan PDB terbesar dan pasar konsusmsi terbesar di dunia, Amerika Serikat menjadi pusat gravitasi dalam arsitektur perdagangan global. Amerika memiliki peran dominan dalam menentukan arah dan pola perdagangn internasioanal sebab banyak negara menggantungkan ekspor mereka ke pasar AS, serta menjadikan kebijakan ekonomi dan moneter AS sebagai rujukan untuk menyusun strategi perdagangan nasional.

Faktor lain yang memperkuat posisi AS adalah dominasi dolar sebagai mata uang internasional, kekuatan teknologi, serta kepemimpinan dalam organisasi-organisasi internasional seperti WTO dan IMF. Oleh karena itu, perubahan kebijakan perdagangan di AS baik yang bersifat liberal maupun proteksionis selalu memengaruhi pola perdagangan global. Setiap perubahan dalam kebijakan ekonomi AS sering kali memicu penyesuaian kebijakan di negara-negara mitranya, terutama dalam hal tarif, investasi, dan hubungan bilateral.

Isu hangat baru-baru ini yakni kebijakan tarif impor yang dilakukan oleh presiden Donald Trump. Trump kembali terpilih menjadi presiden AS dan dilantik pada 20 januari 2025 kemarin. Trump memberlakukan kebijakan tarif impor yang dulu pernah ia lakukan. Kebijakan tarif impor yang diterapkan oleh Presiden Donald Trump selama masa jabatannya (2017--2021) merupakan bagian dari strategi ekonomi proteksionis yang dikenal dengan slogan "America First." Kebijakan ini bertujuan untuk melindungi industri domestik Amerika Serikat dari kompetisi luar negeri yang dianggap tidak adil, mengurangi defisit perdagangan, serta mendorong negara-negara mitra dagang untuk menegosiasikan ulang perjanjian dagang yang dinilai lebih menguntungkan bagi AS.

Trump kembali menggunakan kebijakan tersebut pada rabu tanggal 2 april kemarin. Trump mengeklaim, pungutan ini akan meningkatkan produksi dalam negeri dan menyamakan kedudukan dengan negara-negara lain yang mengenakan tarif lebih tinggi terhadap impor AS. Indonesia juga terkena tarif impor tersebut sebesar 32% dimana nilai tarif tersebut sama dengan taiwan. Mengapa nilai tarif Indonesia begitu tinggi dibandingkan dengan banyak negara yang hanya diberlakukan sebesar 10% meskipun masih ada yang jauh lebih tinggi yakni kamboja sebesar 49%, Kondisi tersebut dikarenakan Indonesia memiliki surplus ekspor sebesar 60% dengan Amerika.

China menjadi target utama kebijakan ini, dengan tarif tambahan sebesar 10% terhadap semua impor dari negara tersebut sejak 1 Februari 2025, yang kemudian dinaikkan menjadi 20% pada awal Maret. Sebagai balasan, China mengenakan tarif hingga 84% pada barang-barang asal AS dan membatasi akses perusahaan-perusahaan AS ke pasar domestiknya. Kanada dan Meksiko juga terdampak, di mana AS menetapkan tarif 25% untuk sebagian besar barang impor dari kedua negara, meskipun tarif energi dari Kanada hanya sebesar 10%. Namun, penerapan penuh terhadap Kanada dan Meksiko ditunda setelah mereka sepakat untuk meningkatkan kerja sama dalam pemberantasan perdagangan narkoba.

Di sektor teknologi, tarif baru belum diberlakukan pada barang-barang seperti smartphone, komputer, dan chip, namun Trump memperingatkan bahwa pengecualian ini hanya bersifat sementara. Pemerintah juga merencanakan penyelidikan lebih lanjut terhadap rantai pasok elektronik untuk alasan keamanan nasional. Di sisi lain, sektor e-commerce terkena dampak signifikan, terutama setelah DHL menghentikan sementara pengiriman barang bernilai tinggi ke AS akibat peningkatan inspeksi bea cukai. Pemerintah AS juga berencana menghapus pengecualian bea masuk untuk barang-barang berharga di bawah $800 yang berasal dari China. Kebijakan-kebijakan ini telah memicu ketidakpastian ekonomi, dengan pasar saham AS mencatat penurunan lebih dari 10% sejak awal masa jabatan Trump, sementara Bank Sentral Eropa menurunkan suku bunga untuk meredam dampak negatif dari meningkatnya ketegangan perdagangan global. Kebijakan tarif ini mencerminkan tekad Trump untuk mengurangi defisit perdagangan dan meningkatkan produksi dalam negeri, meskipun menuai kontroversi dan memicu reaksi keras dari negara-negara mitra dagang.

Bagaimana Dampak Kebijakan Tersebut Terhadap Indonesia?

Pengenaan tarif impor sebesar 32% oleh Presiden Donald Trump terhadap produk-produk Indonesia pada tahun 2025 memberikan dampak ekonomi yang cukup signifikan, terutama terhadap sektor ekspor nasional. Kebijakan ini secara langsung mengurangi daya saing barang-barang Indonesia di pasar Amerika Serikat, yang merupakan salah satu mitra dagang utama. Produk-produk seperti tekstil, alas kaki, furnitur, elektronik, dan hasil pertanian menjadi kurang kompetitif akibat kenaikan harga yang disebabkan oleh tarif tersebut. Penurunan daya saing ini berpotensi menurunkan volume ekspor Indonesia ke AS dan dapat berdampak negatif terhadap industri padat karya, yang selama ini menyerap banyak tenaga kerja.

Salah satu dampak yang paling dirasakan adalah potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor industri yang menggantungkan ekspornya ke AS, seperti sektor tekstil dan alas kaki. Sektor ini menyumbang hampir 27,5% dari total ekspor Indonesia ke Amerika, sehingga penurunan permintaan bisa memukul stabilitas lapangan kerja. Di sisi lain, meskipun tekanan terasa pada sektor-sektor tertentu, secara makro dampaknya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia diperkirakan tidak terlalu besar. Hal ini disebabkan oleh porsi ekspor ke AS yang hanya mencakup sekitar 10% dari total ekspor nasional, dan hanya sebagian dari jumlah tersebut yang terkena tarif tinggi.

Dari sisi sektor moneter juga ikut terdampak meskipun tidak bersifat sistemik. Ketegangan dagang yang meningkat akibat kebijakan tersebut menciptakan sentimen negatif di pasar keuangan global, termasuk di Indonesia. Salah satu dampak utamanya adalah tekanan terhadap nilai tukar rupiah. Penurunan ekspor ke Amerika Serikat mengurangi potensi masuknya devisa dari hasil perdagangan, yang dapat mempersempit pasokan valuta asing di pasar domestik. Akibatnya, rupiah cenderung melemah terhadap dolar AS, terutama jika pelaku pasar melihat ketidakpastian global yang berkepanjangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun