Dulu ketika masih kuliah, saya rajin mengikuti kegiatan pengembangan masyarakat yang diadakan oleh kampus. Kebetulan, saya kuliah di Institut Pertanian Bogor, jurusan Teknik Pertanian. Tahun 2013, saya berkesempatan ikut program IPB Goes To Field. Sebuah program dari IPB yang mengirimkan mahasiswa-mahasiswanya untuk menjadi agen dalam perkembangan pertanian di Indonesia.
Dalam kesempatan tersebut, saya ditempatkan di Kecamatan Juwiring, Kabupaten Klaten untuk pengembangan tungku sekam ke masyarakat. Selain sosialisasi penggunaan tungku sekam, saya juga ikut terjun dalam masalah-masalah pertanian di Kecamatan Juwiring. Salah satu hal yang menyita perhatian saya adalah bagaimana Kelompok Tani disana sangat peduli terhadap permasalahan pertanian.
Tidak hanya di Juwiring, di kecamatan Delanggu yang letaknya tidak jauh dari Juwiring pun pemberdayaan terhadap para petani lewat Kelompok Tani terlihat sangat nyata. Setiap kali ada permasalahan dilapangan, ketua kelompok tani akan langsung menindaklanjuti permasalahan tersebut dibantu oleh petugas dari dinas pertanian.
Kolaborasi yang apik antar petani, kelompok tani, dan juga dinas pertanian merupakan cara yang ampuh agar permasalahan-permasalahan seputar pertanian bisa langsung dieksekusi dan didapatkan solusi yang jitu. Pengadaan infrastruktur yang cepat pun menjadi dukungan yang cukup nyata dari pemerintah bagi kesejahteraan para petani di desa yang jauh dari kota.
Dari pengalaman di atas, saya berpikir bahwa keberadaan Kelompok Tani di setiap desa memang harus ada. Sebab, Kelompok Tani merupakan subjek yang langsung berhubungan dengan para petani di desa. Permasalahan yang kemudian muncul adalah apakah disetiap desa di Indonesia memiliki kelompok tani? Tentu ini adalah permasalahan yang harus segera dicari solusinya. Oleh karena itu, sebelum melakukan optimalisasi terhadap Kelompok Tani, pemerintah harus memastikan dulu disetiap desa sudah memiliki kelompok tani.
Pemerataan Keberadaan Kelompok Tani di Seluruh Indonesia
Mungkin tidak semua desa sudah memiliki Kelompok Tani, termasuk di desa tempat saya tinggal yakni desa Sagalaherang Kaler, Kabupaten Subang. Di desa saya, keberadaan Kelompok Tani jelas belum eksis bahkan belum pernah terdengar gaungnya. Padahal mayoritas masyarakat bekerja sebagai petani yang artinya kesejahteraan mereka terletak dari hasil produksi sawah yang mereka kelola.
Permasalahan yang kerap kali saya lihat dan perhatikan adalah kurang optimalnya pengadaan air untuk irigasi sawah. Jika tidak ada hujan terkadang para petani kebingungan sebab selokan yang biasanya dijadikan sumber air untuk lahan pertanian kering. Alhadil para petani kebingungan dan memilih pasrah dengan permasalahan yang ada.
Selain permasalah irigasi, tampaknya di desa saya pun jarang sekali atau bahkan tidak ada sosialisasi terhadap para petani perihal bagaimana cara untuk meningkatkan produksi beras yang ada, tidak ada pengetahuan yang didapatkan oleh para petani untuk menunjang mata pencahariannya. Sehingga, hal ini menjadi pertanyaan bagi saya, apakah memang tidak semua desa memiliki program Kelompok Tani, atau hanya di desa saya yang memang masih belum memiliki Kelompok Tani.
Jika pemerintah sudah bisa memastikan keberadaan Kelompok Tani ini tentunya hal selanjutnya yang harus dilakukan adalah membuat sebuah mekanisme untuk memberdayakan para petani untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Bukan hal yang tabu jika seseorang memang mengandalkan hidupnya hanya dari hasil pertanian, sehingga peran aktif pemerintah dalam hal ini sangat dibutuhkan untuk menghilangkan kantong-kantong kemiskinan di pedesaan.
Urgensi Keberadaan Kelompok Tani