Mohon tunggu...
Veronika Nainggolan
Veronika Nainggolan Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Baru selesai kuliah, sdg mengadu nasib di ibukota. \r\n\r\nMotto : "MENGAMATI lalu MENULIS" \r\n \r\nuntuk KEDAMAIAN NEGERI......\r\n \r\n

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bahaya Literatur Asing

12 Juni 2012   08:17 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:04 553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_194180" align="aligncenter" width="552" caption="Bpk. Suprapto Ketua LPPKB dan Yayasan Perguruan Sumbangsih dalam dialog di TVRI"][/caption] Iseng-iseng menonton acara televisi (TV), tangan saya yang menggenggam remote control tv berhenti berpindah chanel setelah menemukan sebuah acara dialog di TVRI yang mengulas tentang masalah Papua. Topik yang diulas TVRI pada Rabu, 30 Mei 2012 pukul 06.00 pagi itu berjudul "Mewaspadai  Disintegrasi Bangsa". Topik ini terasa sangat aktual untuk di- share ke forum ini dengan harapan dapat menjadi bahan pencerahan bagi para Kompasianer, untuk bersama-sama menyikapi semakin maraknya aksi kekerasan dan penembakan yang terjadi selama dua pekan terakhir ini di wilayah Papua, serta dampaknya terhadap bahaya disintegrasi yang bisa saja menimpa keutuhan bangsa kita.

Saya sangat tertarik mengikuti ulasan seorang Narasumber yang tak lain adalah Bapak Soeprapto, Ketua LPPKB (Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Kehidupan Bernegara) yang sudah banyak mencetak kader bangsa melalui Yayasan Perguruan Sumbangsih yang didirikannya. Berikut ini pernyataan Bapak Suprapto sejauh yang bisa saya tangkap dari tayangan dialog TVRI tersebut :

Indonesia mestinya dipecah menjadi 17 negara

Persoalan diisintegrasi di beberapa negara sudah menjadi hal yang tidak terelakan di dunia. Sebagai contoh di Rusia dan Yugoslavia. Namun, upaya Indonesia termasuk luar biasa karena masih bisa mempertahankan kedaulatannya.

[caption id="attachment_194172" align="aligncenter" width="534" caption="Bpk. Suprapto (paling kanan) dalam sebuah acara work shop yang diadalah oleh Kemenkuham beberapa waktu lalu. (sumber : www.polkam.go.id)"]

13394887591258632955
13394887591258632955
[/caption] Kemunculan semangat diintegrasi di daerah disebabkan oleh banyaknya literatur asing yang menyatakan bahwa Indonesia sebaiknya dipecah minimal menjadi 17 negara. Pandangan ini merupakan sebuah ilusi dari para pemikir luar negeri. Sayangnya, beberapa daerah mulai termotivasi oleh pemikiran itu, bahkan digeneralisir sehingga menjadi opini publik untuk pembenaran kegiatan politik tertentu. Pengaruh pemikiran ini perlu ditindak-lanjuti dengan baik dan tidak gegabah seperti penanganan konflik di Timor Timur. Langkah yang gegabah akan menimbulkan dan membuat konflik menjadi meluas.

Negara di dunia dalam kontek hubungan internasional bersepakat untuk tidak turut campur dalam urusan dalam negeri suatu negara. Namun, beberapa oknum dari negara tertentu turut campur dalam urusan politik dalam negeri negara lain. Misalnya Amerika. Terkait kasus Papua, seorang senator Amerika berbicara mendukung disintegrasi Papua. Kemudian oleh kalangan tertentu menggeralisir pernyataan ini sebagai tanggapan dan sikap suatu negara. Padahal secara resmi, Amerika telah menyatakan sikap untuk mendukung integrasi Papua.

Terdapat tiga negara yang terlibat dengan masuknya Papua ke Indonesia yakni Belanda, AS, dan Australia, namun secara resmi ketiga negara tersebut bersepakat tidak mendukung kemerdekaan Papua. Kita tidak perlu risau dengan konflik internal di Papua yang hanya mencari perhatian. Meski demikian kita harus fokus pada masyarakat di Papua agar tidak terpengaruh oleh kelompok-kelompok tesebut. Pemerintah perlu mengembangkan kewaspadaan rakyat.

Papua dan Bhineka Tunggal Ika

Indonesia mempunyai sasanti yang bagus yakni Bhinneka Tunggal Ika yang telah disahkan dalam amandemen UUD 1945 pasal 36A. Oleh karena itu, implementasi sasanti ini jangan jadi pepesan kosong. Masyarakat perlu menghayati nilai pancasila yang meninggalkan sifat ekslusif kedaerahan dan mengedepankan sifat inklusifisme berbangsa. Sifat itulah yang perlu dikembangkan di masyarakat terutama di Papua untuk menyelesaikan konflik. Kita harus menghormati local wisdom yang ada. Namun, kita harus ingat bahwa kita berada pada kerangka yang lebih luas yakni Indonesia.

Masalah yang terjadi di Papua tidak sederhana karena banyak kelompok mempunyai kepentingan tertentu. Pemberitaan media yang mengedepankan bad news is a good news perlu diminimalisir. Mengingat, pemberitaan yang dilakukan telah menyulut gerakan masyarakat untuk semakin mendukung disintegrasi. Media justru sering memberitakan hal negatif terkait upaya pembangunan di Papua. Pemerintah perlu melakukan counter action terkait berita tersebut. Perlu penggunaan teknologi informasi dengan membuat berbagai pemberitaan di media sebagai counter.

Para Pemimpin di Papua jangan terpengaruh

Peran serta pimpinan dari Papua harus tampil dan ikut serta kegiatan pembangunan di daerahnya. Kebanyakan dari mereka tidak fokus pada pembangunan dan terpengaruh oleh isu-isu yang menyulut diisintegrasi. Sementara itu, kepada wakil rakyat dan pemangku kebijakan kiranya perlu melakukan kajian yang tepat di Papua. Mereka harus merasakan secara riil kondisi yang terjadi di Papua. Bukan hanya menyelesaikan masalah dari Jakarta tanpa melakukan pendekatan sosiologis di Papua.

Jakarta, 12 Juni 2012

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun