Josephine / Graha Tua Padang / Veresya Prisila Yuyu
Di era digital yang serba cepat ini, jumlah pengguna internet di Indonesia telah memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap eksistensi media. Demi mempertahankan eksistensinya, maka setiap media harus mampu mengikuti perkembangan zaman dan teknologi. Dalam hal ini, konvergensi menjadi salah satu kata kunci dalam perkembangan industri media. Konvergensi media merupakan sebuah fenomena global yang menggeser lanskap media tradisional dengan menggabungkan teknologi, komunikasi, dan konten melalui digitalisasi dan jaringan komputer. Kemunculan konvergensi media menandai perubahan besar, dimana media lama dan baru hidup berdampingan, memicu transformasi dalam industri media dan memengaruhi budaya digital dengan mengubah masyarakat menjadi "prosumer" (produsen-konsumen) yang aktif.
Pada dasarnya, konvergensi media telah bertransformasi dari sekadar fenomena teoretis menjadi realitas industri. Hal ini didorong oleh adanya kehadiran platform digital, seperti media sosial (Facebook, Instagram, dan TikTok), layanan streaming video (YouTube dan Netflix), serta portal berita daring. Lebih lanjut, platform digital berkaitan erat dengan konvergensi media sebab mampu mengubah tiga aspek utama, yaitu logika produksi konten, pola konsumsi audiens, serta model bisnis media. Terkait hal ini, media tradisional, seperti surat kabar, radio, ataupun televisi, dipaksa untuk beradaptasi, mengintegrasikan ruang redaksi, dan melatih jurnalis agar multi-skilled demi memenuhi tuntutan penyajian konten yang cepat, multiformat, dan interaktif. Akibatnya, batas-batas antara media cetak, penyiaran, dan daring semakin kabur.
Untuk memahami lanskap media saat ini, penting untuk mengkaji ulang gagasan fundamental yang dikemukakan oleh Henry Jenkins dalam karyanya, "Convergence Culture: Where Old and New Media Collide". Jenkins secara cemerlang mendefinisikan ulang konvergensi, bukan sebagai fenomena teknologi semata, melainkan sebagai sebuah pergeseran kultural yang mendalam. Ia memperkenalkan konsep "budaya partisipatif", di mana khalayak tidak lagi bertindak sebagai konsumen pasif, tetapi secara aktif terlibat dalam produksi dan sirkulasi konten.
Namun, dalam hampir dua dekade sejak teori Jenkins dirumuskan, ekosistem media telah berevolusi secara signifikan. Budaya partisipatif yang ia jelaskan kini tidak lagi berlangsung di ruang internet yang sepenuhnya terbuka, melainkan dimediasi melalui infrastruktur dominan: platform digital. Di sinilah analisis modern dari Jos van Dijck bersama  Martijn de Waal dan Thomas Poell dalam bukunya, "The Platform Society: Public Values in a Connective World", menjadi krusial. Van Dijck berargumen bahwa platform seperti Meta, Google, dan TikTok bukan sekadar alat netral, melainkan telah menjadi arsitek utama yang membentuk cara kita berinteraksi dan mengelola arus informasi.
Menurut van Dijck, platform-platform ini beroperasi melalui mekanisme inti seperti datafikasi (proses mengubah berbagai aspek aktivitas kita menjadi data) dan komodifikasi (proses mengubah data tersebut menjadi nilai ekonomi). Konsekuensinya, partisipasi audiens yang dibayangkan Jenkins kini diatur secara ketat oleh algoritma dan terikat pada model bisnis periklanan. Sebagai contoh, sebuah gerakan sosial yang menjadi viral di media sosial bukan hanya wujud "kecerdasan kolektif", tetapi juga merupakan hasil dari cara kerja algoritma platform yang dirancang untuk memaksimalkan keterlibatan pengguna.
Dalam konteks Indonesia, pergeseran ini dapat diamati dengan jelas. Kreator konten di berbagai platform tidak hanya berpartisipasi dalam budaya, tetapi juga beroperasi dalam sistem ekonomi yang aturannya ditentukan oleh perusahaan teknologi. Demikian pula, arus informasi yang kita konsumsi sangat dipengaruhi oleh kurasi algoritma Google News atau linimasa media sosial. Hal ini menandakan bahwa konvergensi media telah memasuki fase baru, di mana peleburan media terjadi dalam sebuah ekosistem yang dikenal sebagai "walled garden" atau "taman bertembok" yang merupakan sebuah lingkungan digital tertutup yang dikendalikan oleh segelintir raksasa teknologi, yang pada akhirnya turut membentuk pengalaman dan persepsi kita terhadap realitas.
Konvergensi media telah bertransformasi dari fenomena teoretis menjadi realitas industri yang didominasi oleh platform digital, menggeser lanskap media tradisional di Indonesia dan secara global. Jika Henry Jenkins melihatnya sebagai pergeseran budaya partisipatif yang memungkinkan khalayak menjadi "prosumer" yang aktif, evolusi terkini seperti yang dianalisis oleh Jos van Dijck menunjukkan bahwa partisipasi ini kini dimediasi dan diatur secara ketat dalam "walled garden" (taman bertembok) oleh raksasa teknologi. Platform-platform ini, melalui mekanisme datafikasi dan komodifikasi, tidak hanya menyalurkan konten tetapi juga menjadi arsitek utama yang membentuk logika produksi, pola konsumsi, serta model bisnis media, memaksa media tradisional beradaptasi melalui integrasi redaksi dan kurasi algoritmik, yang pada akhirnya turut mengontrol aliran informasi dan membentuk pengalaman serta persepsi masyarakat terhadap realitas.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI