Kritik Bentuk Usaha Tetap: PMK 35/2019, OECD Model, dan UN ModelÂ
Apakah aturan perpajakan Indonesia sudah adil bagi negara sumber?
Pendahuluan
Banyak badan usaha asing beroperasi di Indonesia tanpa mendirikan badan hukum lokal. Kondisi ini menimbulkan persoalan serius, sebab perusahaan dapat memperoleh keuntungan besar dari kegiatan usaha di Indonesia, tetapi tidak memiliki kewajiban pajak yang seimbang. Oleh karena itu, regulasi terkait Bentuk Usaha Tetap (BUT) menjadi sangat penting. Pemerintah Indonesia mengeluarkan PMK 35/2019 untuk menegaskan kriteria keberadaan BUT. Di sisi lain, komunitas internasional memiliki pedoman berupa OECD Model dan UN Model. Artikel ini mengkritisi ketiga model tersebut, dengan menekankan aspek keadilan fiskal bagi Indonesia.
Definisi dan Peran BUT
BUT adalah bentuk usaha luar negeri yang menjalankan kegiatan bisnis di Indonesia. Kriteria utama meliputi adanya tempat usaha yang bersifat permanen dan digunakan untuk aktivitas usaha. PMK 35/2019 memperluas cakupan dengan memasukkan jasa yang berlangsung lebih dari 183 hari serta kehadiran digital. Definisi ini penting karena menentukan apakah subjek pajak luar negeri memiliki kewajiban pajak di Indonesia.Â
BUT memegang peranan krusial. Pertama, BUT menentukan kewajiban pajak bagi subjek luar negeri. Kedua, BUT mencegah penghindaran pajak melalui struktur usaha yang sengaja diatur agar menghindari kewajiban fiskal. Ketiga, BUT selaras dengan standar internasional yang diatur dalam berbagai perjanjian pajak berganda. Keempat, BUT menyesuaikan diri dengan perkembangan ekonomi digital yang semakin mendominasi transaksi lintas negara.
BUT dalam OECD Model
OECD Model menekankan konsep fixed place of business atau tempat usaha tetap. Contohnya adalah kantor, pabrik, gudang, atau proyek konstruksi dengan durasi lebih dari 12 bulan. OECD Model tidak mengakui jasa sebagai BUT apabila dilakukan tanpa kantor tetap. Fokus OECD adalah menciptakan kepastian hukum dan menghindari pajak berganda. Namun, pendekatan ini sering dianggap bias karena lebih melindungi kepentingan negara maju sebagai domisili perusahaan multinasional.
BUT dalam UN Model
Berbeda dengan OECD, UN Model memberikan ruang yang lebih luas bagi negara sumber untuk menarik pajak. UN Model mengenal konsep service permanent establishment, yaitu jasa yang berlangsung lebih dari 183 hari dapat dikategorikan sebagai BUT. Selain itu, proyek konstruksi dengan durasi lebih dari enam bulan juga termasuk BUT. Dengan demikian, UN Model memberikan hak yang lebih besar bagi negara sumber seperti Indonesia dalam memungut pajak atas laba yang dihasilkan di wilayahnya.
Perbandingan Kritis
Jika dibandingkan, PMK 35/2019 lebih dekat dengan UN Model daripada OECD Model. PMK mengatur bahwa proyek konstruksi lebih dari 183 hari akan membentuk BUT. OECD menetapkan batas 12 bulan, sementara UN hanya enam bulan. Dengan demikian, PMK mencoba menyeimbangkan antara standar internasional dan kepentingan nasional.
Kasus Ilustratif
Kasus konstruksi asing menunjukkan relevansi aturan ini. Perusahaan XYZ Ltd. menjalankan proyek delapan bulan senilai Rp 100.000.000.000,- di Indonesia. Menurut OECD, perusahaan tersebut tidak termasuk BUT sehingga Indonesia tidak berhak memungut pajak. Namun, menurut UN Model dan PMK 35/2019, perusahaan dianggap BUT dan wajib membayar pajak sebesar 22 % dari laba Rp 30.000.000.000,- Â yaitu Rp 6.600.000.000,-.
Kritik terhadap OECD Model
OECD Model dikritik karena bias terhadap negara domisili yang mayoritas negara maju. Model ini membatasi hak negara sumber dalam menarik pajak, sehingga tidak adil bagi negara berkembang seperti Indonesia. Secara moral, OECD memperlakukan negara sumber hanya sebagai sarana untuk kepentingan perusahaan multinasional, bukan sebagai subjek yang berhak atas keadilan fiskal.
Kritik terhadap UN Model
Meskipun lebih adil bagi negara sumber, UN Model juga tidak lepas dari kelemahan. Model ini bisa dianggap memperlakukan investor asing hanya sebagai alat fiskal. Risiko pajak berganda dan beban berlebih bagi investor asing juga perlu dipertimbangkan. Kritik ini menegaskan perlunya keseimbangan antara kepentingan fiskal negara sumber dan daya tarik investasi.
Kritik terhadap PMK 35/2019
PMK 35/2019 juga memiliki kelemahan. Pertama, aturan ini tidak sepenuhnya sinkron dengan perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B). Kedua, penerapan PMK dapat mengurangi daya tarik investasi karena dianggap menambah beban administrasi. Ketiga, PMK kurang adaptif terhadap ekonomi digital yang berkembang pesat. Keempat, minimnya transparansi dan edukasi bagi investor menyebabkan implementasi tidak optimal.
Perspektif Moral Kantian
Dari perspektif etika Kantian, OECD Model tidak universal karena hanya menguntungkan negara maju. UN Model lebih adil, tetapi rawan instrumentalitas karena cenderung melihat investor sebagai sarana fiskal. PMK 35/2019 mencoba mendekati moral universal dengan melindungi kepentingan nasional, namun implementasinya masih agresif. Prinsip Kantian menekankan bahwa setiap pihak harus diperlakukan sebagai tujuan, bukan sekadar alat.
Rekomendasi Reformulasi
PMK 35/2019 perlu direformulasi agar lebih efektif. Pertama, aturan harus disinkronkan dengan P3B agar tidak terjadi tumpang tindih. Kedua, definisi BUT digital harus diperjelas untuk menyesuaikan era ekonomi digital. Ketiga, perlu keseimbangan antara keadilan fiskal dan kepastian hukum. Keempat, transparansi administrasi harus ditingkatkan. Kelima, Indonesia perlu mendorong kesepakatan multilateral untuk memperkuat posisi dalam forum global.
Implikasi Praktis untuk Indonesia
Tanpa aturan kuat, Indonesia sebagai negara sumber berisiko kehilangan penerimaan pajak. PMK 35/2019 memperkuat fiskal domestik, tetapi harmonisasi dengan UN Model dibutuhkan agar keadilan internasional tercapai. Dalam konteks sektor ekstraktif seperti pertambangan, integrasi aturan domestik dan prinsip internasional menjadi kunci untuk memastikan bahwa laba yang dihasilkan dari kekayaan alam Indonesia benar-benar memberikan manfaat bagi bangsa.
Kesimpulan
Secara keseluruhan, OECD Model lebih melindungi negara domisili, UN Model lebih menguntungkan negara sumber, sementara PMK 35/2019 merupakan adaptasi Indonesia yang masih perlu reformulasi. Prinsip keadilan fiskal menuntut bahwa laba yang dihasilkan di Indonesia harus dikenakan pajak di Indonesia. Hal ini bukan hanya masalah teknis, tetapi juga persoalan etika dalam memperlakukan negara sumber sebagai pihak yang setara dalam tata kelola ekonomi global.
Penutup
PMK 35/2019 adalah langkah maju dalam mengatur BUT, tetapi belum sempurna. OECD terlalu berpihak pada negara maju, sedangkan UN lebih berpihak pada negara berkembang. Indonesia perlu melakukan reformulasi PMK dan memperkuat posisi dalam perjanjian global untuk memastikan keadilan fiskal yang berkelanjutan. Dengan begitu, kontribusi pajak dari perusahaan multinasional dapat lebih optimal, dan manfaat ekonomi dapat lebih dirasakan masyarakat luas.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI