Mohon tunggu...
Ajie Marzuki Adnan
Ajie Marzuki Adnan Mohon Tunggu... profesional -

Manusia biasa, suka tidur, suka browsing internet, suka baca komik Doraemon juga. Getting older but still a youth!

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Militer dan Hak Asasi Manusia

4 April 2011   02:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:09 4023
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Contoh lainnya adalah di Belanda. Anda dilarang keras untuk melakukan salam Nazi di negara tersebut dengan ancaman hukuman kurungan tanpa proses peradilan. Hukum ini tentu saja melanggar hak seseorang untuk mengekspresikan dirinya, atau ketertarikan dirinya terhadap sesuatu (dalam hal ini adalah salam Nazi). Walaupun begitu, hukum ini tetap diterima karena memang publik menghendaki peraturan ini akibat dari trauma pada era Perang Dunia dua oleh pasukan Nazi.

Untuk masyarakat militer yang membutuhkan kedisiplinan luar biasa tinggi dari pada masyarakat sipil tentu membutuhkan pengekangan hak individu yang besar pula. Pengekangan hak individu militer ini termanifestasikan dalam bentuk masyarakat hierarkis dan otoriter. Individu yang berada di urutan hierarki/kasta bawah tidak memiliki kebebasan berbicara dihadapan atasannya atau individu yang posisi kastanya lebih tinggi. Individu yang berada di urutan kasta atas mempunyai hak lebih (otoritas) untuk mengatur kasta-kasta dibawahnya, tanpa perlu mendengarkan suara dari kasta bawah tersebut (sangat berlawanan dengan masyarakat demokratis). Kasta atas dianggap selalu benar dan memiliki pemahaman yang lebih baik ketimbang bawahannya (detail mengenai ini tidak akan saya tulis lebih mendetail).

Lalu mengapa negara tidak membiarkan hak personel ini dan mengurangi tingkat disiplinnya? Hal ini bisa saja dilakukan oleh negara, namun konsekuensinya cukup berat. Berkurangnya tingkat disiplin seorang personil militer berbanding lurus dengan menurunnya kemampuan tempur prajurit tersebut. Sejarah membuktikan bahwa pasukan-pasukan dengan disiplin tinggi senantiasa memperoleh hasil yang memuaskan juga di medan tempur. Mulai dari pasukan Sparta Hoplites yang melegenda dalam sejarah kemiliteran, pasukan Hashashin (Assasin), pasukan elit Persia abad ke 12 M yang bahkan masih terkenal hingga saat ini, Pasukan Janitsari, pasukan elit Turki Ottoman yang ditakuti pasukan Salib Kristen, Pasukan Romawi yang berhasil menguasai sebagian besar Eropa dan masih banyak contoh-contoh lainnya.

Walaupun demikian, tidak semua hak individu dalam masyarakat militer dihapuskan begitu saja. Hak-hak seperti hak hidup, pendidikan, tempat tinggal, dan penghasilan masih tetap melekat dalam personil militer. Namun kadangkala, dalam kondisi khusus, hak-hak itupun bisa dicabut, misalnya adalah hak hidupnya.

Pencabutan hak hidup ini mungkin agak terlalu rumit untuk dijelaskan, jadi saya langsung berikan contoh saja. Kita tentu ingat betapa hebohnya dunia ketika pilot-pilot Jepang melakukan serangan Kamikaze ke Pearl Harbour. Serangan ini bisa dibilang serangan bunuh diri karena memang pilot-pilot Jepang sendiri yang menabrakkan dirinya bersama dengan pesawatnya ke kapal-kapal AS. Perintah hara-kiri (bunuh diri) ini tentu bukan inisiatif pilot Jepang sendiri, melainkan perintah dari panglima tentara Jepang.

Dari contoh diatas kita bisa lihat bahwa seorang pemimpin militer (personil militer yang mempunyai kasta tinggi) bahkan dapat memerintahkan anak buahnya untuk mengorbankan nyawa dalam kondisi-kondisi tertentu, dan dalam dunia kemiliteran perintah/komando untuk mengorbankan nyawa ini bukan hal aneh lagi. Dalam dunia militer, nyawa adalah hak yang sangat berharga, namun mengorbankan nyawa adalah kewajiban pokok tiap personil militer dalam keadaan-keadaan khusus.

Pelucutan Hak personil militer ini dilakukan tentunya dengan sepengetahuan dan seizin individu tersebut. Saat orang tersebut mendaftarkan diri untuk menjadi bagian dalam masyarakat militer, maka orang tersebut secara tidak langsung juga telah mendaftarkan dirinya untuk dihapus beberapa haknya.

Wacana mengenai sebuah negara tanpa kekuatan militer, dengan alasan melanggar hak asasi personil militer juga tidak masuk akal. Tidak ada satupun negara di dunia yang tidak memiliki angkatan bersenjata. Bahkan Monako, sebuah negara kecil di Prancis pun mempunyai militer yang merupakan otoritas militer Prancis. Negara-negara kecil lain seperti Vatikan, Singapura & Luksemburg sekalipun memiliki angkatan bersenjata.

Alasan lainnya adalah kondisi geo-politik internasional yang cukup dinamis. Selalu ada seribu satu alasan dari sebuah negara untuk melakukan aktivitas militer terhadap negara lain. Mulai dari alasan perbatasan, hingga alasan pelanggaran HAM.

Berbicara mengenai hak asasi manusia dalam masyarakat militer mungkin agak sedikit membingungkan. Mulai dari Universal Declaration Of Human Right sampai UUD 45 (yang pada umumnya banyak digunakan oleh para pejuang HAM), tidak ada satupun perjanjian tersebut yang menjelaskan tentang hak-hak personil militer. Namun bila kita menggeneralisasikan kata-kata "setiap manusia" (dalam UDHR) atau "setiap warga negara" (dalam UUD 45) sebagai personil militer juga, maka setiap harinya Indonesia dan seluruh negara di dunia telah melakukan pelanggaran HAM terhadap personil militer.

Satu-satunya perjanjian modern yang menyebutkan hak-hak personil militer adalah Konvensi Jenewa. Namun konvensi inipun lebih menitikberatkan pada hak-hak para kombatan (pihak-pihak yang melakukan pertempuran), bukan hak masyarakat militer secara umum dalam keadaan damai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun