Indonesia, tanah air beta. Tapi kadang, lebih terasa seperti tanah air lelucon yang tidak lucu. Bukan karena kita kekurangan sumber daya, tapi karena kita kebanyakan pura-pura tidak tahu. Negeri ini seolah jalan sendiri, tanpa GPS, hanya mengandalkan insting, dan kadang tersesat di kubangan yang dibuat sendiri.
Mari kita buka mata, bukan sekadar melek, tapi benar-benar melihat. Ini bukan soal satu dua orang yang salah langkah. Ini soal kebiasaan, sistem, dan budaya yang makin hari makin menyebalkan, dan entah kenapa masih dianggap wajar.
Pemerintah: “Yang Penting Duduk, Soal Kerja Nanti Dulu”
Kalau korupsi bisa masuk olimpiade, mungkin pejabat kita sudah bawa pulang medali emas. Jabatan dipakai buat balas budi, bukan balas kerja rakyat. Nepotisme bukan lagi rahasia umum, tapi semacam SOP tidak tertulis. Orang titipan jadi pejabat, padahal CV-nya cuma modal kedekatan.
Kritik dianggap serangan, bukan masukan. Kebijakan? Seperti nasi goreng dadakan, campur aduk tidak jelas bumbunya. Lima menteri paling zonk pun bisa rebutan gelar, karena semuanya bersaing dalam ketidakefektifan. Birokrasi seperti sinetron yang tidak pernah tamat, hukum kayak elastis, dan DPR? Lebih sering sibuk rapat yang tidak produktif dibanding dengar suara rakyat. Keadilan seperti ilusi optik, terlihat ada, padahal tidak bisa dipegang.
Mahasiswa: Antara Cuan, Citra, dan Cerita Lama
Dulu mahasiswa adalah simbol perlawanan. Sekarang, kadang malah jadi simbol pencitraan. Skandal BEM? Sudah seperti sinetron politik mini. Joki UTBK dan SNBP bayaran? Edukasi kok dibeli, jadi apa nanti integritas bangsa?
Ada juga yang tinggal bareng sebelum halal, yang katanya atas nama cinta, tapi entah di mana letak tanggung jawabnya. LGBT makin ramai dibicarakan di kampus, tapi diskusi sehat malah dikubur karena takut dianggap tidak toleran. Demo pun sekarang bisa dibayar, pakai harga paket. Parahnya lagi, kasus kekerasan di kampus top malah dibungkam. Kampus katanya tempat ilmu, tapi kalau rektornya gampang disuap, mau dibawa ke mana intelektualitas?
Siswa: Semangat Muda yang Salah Jalan
Siswa SMA sekarang makin ekspresif, tapi kadang salah tempat. Pacaran dianggap gaya hidup, tawuran jadi hobi ekstrakurikuler, dan mabuk seperti rutinitas akhir pekan. Seks bebas bukan lagi hal yang disembunyikan, bahkan sudah seperti tren. Nyontek? Biasa. Tanya politik dan hukum, jawabannya sering kosong.
Pertemanan? Kadang lebih toxic dari limbah pabrik. Bullying subur, geng sekolah seperti preman kecil-kecilan. Yang rajin justru dianggap aneh, yang nakal malah punya gengsi. Kalau begini terus, siapa yang akan jadi penerus bangsa?
Masyarakat: Kebiasaan Lama yang Malas Diperbaiki
“Banyak anak banyak rezeki,” katanya. Tapi lupa bahwa rezeki butuh ilmu dan kerja keras. Sampah dibuang sembarangan, tapi marah kalau banjir. SDM rendah bukan karena takdir, tapi karena malas belajar. Pikiran pendek, gampang tersinggung, dan sedikit-sedikit “gus” ini “gus” itu.
Feodalisme masih eksis, dari desa sampai kota. Agama dijadikan tameng untuk memukul, bukan pelukan untuk merangkul. Nikah jadi tren sosial, bukan ikatan sakral. Fatherless society tumbuh karena banyak ayah sibuk kabur. Judi? Jangan ditanya. Dari pinggir jalan sampai aplikasi, semua bisa pasang nomor.