Sekolah Katolik lahir dari semangat kasih dan pelayanan. Namun di masa depan, ia akan berjalan di jalan yang semakin menanjak. Dunia berubah cepat nilai-nilai rohani mudah tergeser oleh logika pasar, oleh kecepatan teknologi, dan oleh kesibukan manusia yang sering lupa pada makna.
Tantangan pertama adalah menjaga jati diri di tengah komersialisasi pendidikan. Banyak lembaga kini berbicara tentang efisiensi, angka, dan laba. Sekolah Katolik harus tetap berbicara tentang kasih, tentang jiwa, tentang manusia. Ia harus modern tanpa kehilangan iman, profesional tanpa kehilangan nurani.
Tantangan kedua datang dari krisis panggilan dan keteladanan guru. Guru Katolik bukan hanya pengajar, melainkan pewarta hidup. Namun semangat pelayanan sering diuji oleh realitas ekonomi dan beban kerja. Sekolah Katolik dipanggil untuk membangkitkan kembali roh panggilan itu, agar setiap guru mengajar bukan hanya dengan kepala, tapi dengan hati yang menyala.
Zaman digital membawa tantangan ketiga: perubahan generasi dan teknologi. Anak-anak kini hidup dalam dunia cepat, visual, dan instan. Sekolah Katolik harus belajar berbicara dalam bahasa baru tanpa kehilangan kedalaman lamanya menghadirkan Injil dalam layar digital, menghadirkan nilai dalam algoritma.
Pandangan Romo Prof. Dr. Nicolaus Driyarkara, SJ (1913–1967) tentang Sekolah Katolik sangat mendalam dan tetap relevan hingga masa kini. Sebagai seorang filsuf, imam Yesuit, dan pendidik besar Indonesia, Driyarkara melihat sekolah Katolik bukan sekadar tempat mencari pengetahuan, tetapi ruang pembentukan manusia yang beriman dan bermartabat. Ia juga berpendapat bahwa Sekolah Katolik bukan sekadar lembaga pendidikan, melainkan karya cinta kasih Gereja untuk memanusiakan manusia.
Ia menegaskan bahwa pendidikan Katolik sejati harus: Menghidupi iman dalam tindakan, Melayani yang kecil dan lemah, Membentuk hati nurani yang merdeka, Dan menghadirkan kasih Allah dalam kehidupan nyata. Ringkasnya bahwa “Sekolah Katolik harus menjadi taman tempat manusia muda bertumbuh menjadi manusia sejati beriman, berakal, dan berbelas kasih.”
Maka dari itu Sekolah Katolik di masa depan bukan sekadar gedung dengan ruang kelas, melainkan taman kehidupan tempat iman, pengetahuan, dan kasih bertumbuh bersama. Di sana, setiap anak belajar bukan hanya agar pandai, tetapi agar menjadi manusia yang berbelas kasih. Guru tidak lagi hanya mengajar rumus dan teori, tetapi menyalakan api panggilan di hati para murid agar mereka kelak menjadi terang di tengah dunia yang sering gelap oleh ketidakpedulian.
Sekolah Katolik masa depan berdiri teguh di tengah perubahan zaman. Ia menyambut teknologi tanpa kehilangan jiwanya, mengelola dengan profesionalisme tanpa mengorbankan cinta. Di balik setiap inovasi, tetap berdenyut semangat Injil: melayani, memanusiakan, dan menghadirkan harapan.
Di sana, semua diterima tanpa pandang latar belakang, karena cinta Kristus tak mengenal batas. Setiap tawa, doa, dan kerja sama menjadi saksi bahwa pendidikan adalah jalan menuju Kerajaan Allah yang dimulai dari ruang kelas kecil itu. Sekolah Katolik masa depan adalah tempat di mana iman menjadi tindakan, ilmu menjadi berkat, dan kasih menjadi budaya.
Salam Pendidikan
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI