Mohon tunggu...
Uyung Sulaksana
Uyung Sulaksana Mohon Tunggu... -

Belum lama belajar ngeblog, namun sejak kenal blog langsung meluncurkan tiga blog, masing-masing tentang manajemen pemasaran dan manajemen perubahan, dua bidang yang memang dikuasainya sebagai dosen PTS. Blog terakhir tentang hal-hal aneh dan unik yang dikemas apik agar mampu memberi hiburan sekaligus pencerahan.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

PR Kita Pasca SBY ke China

26 Maret 2012   10:45 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:27 1619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bulutangkis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Vladislav Vasnetsov

Pusat gravitasi dunia bakal mengalami pergeseran dari kawasan Atlantik ke Pasifik. Hampir pasti satu-dua dekade lagi kita akan menjadi saksi bakal berjayanya Abad Asia. Beberapa puluh tahun lalu pun kerap kita dengar tentang keajaiban Asia Timur dan juga tampilnya macan-macan ekonomi dari Asia Tenggara, namun baru kali ini para pakar sepakat bahwa pergeseran kekuatan tersebut bisa dikata mendekati kepastian.

Sepuluh tahun lagi, separoh penduduk bumi akan tinggal di benua Asa. Setidaknya tiga negara Asia–-China, India dan Jepang—bakal bersinar sebagai bagian dari lima kekuatan ekonomi terbesar dunia pada tahun 2020. Saat itu jumlah konsumen kelas menengahdi Asia akan melebihi jumlah di Amerika dan Eropa. Belanja militer kawasan Asia saat itu akan mengungguli belanja militer Eropa sehingga setidaknya 6 atau 7 negara Asia bakal makin diperhitungkan sebagai bagian dari 10 kekuatan militer terkuat dunia.

China sebagai negara yang paling berpotensi menantang Amerika sebagai negara adidaya pasti akan terus meningkatkan postur militernya seiring lajunya ekonomi China meski dunia tengah diterpa badai krisis. Mereka tak segan memanfaatkan dan mempengaruhi lingkungan global demi kepentingannya, persis sebagaimana yang dilakukan Amerika selama ini. Dalam kasus China, hal ini berarti mendorong negara-negara lain untuk membuka pintunya lebar-lebar bagi produk-produk China. Perusahaan-perusahaan China juga akan makin agresif merebut pengelolaan sumber daya global.

Dalam berbagai kesempatan terbukti China mampu meloloskan berbagai tuntutan mendasar dan hanya bersedia melepaskan tuntutan-tuntutan sekunder. Kemampuan diplomasiini juga difasilitasi fakta bahwa perekonomian banyak negara kini makin bergantung pada pola konsumsi dan investasi China, sebuah peran sentral yang cukup lama dipegang Amerika. Indikasi China yang makin asertifnampak jelas pada even penting seperti KTT Perubahan Iklim di Kopenhagen. Ketika itu China berhasil ‘menggagalkan’ kesepakatan tegas dalam pengendalian emisi karbon yang dipandang amat merugikan negara-negara industri baru seperti China. Beberapa bulan menjelang KTT China sengaja hanya mengirimkan pejabat-pejabat setingkat menteri atau dirjen untuk berunding langsung dengan Obama. Bila hal itu bisa dijadikan indikasi, para pemimpin China nampaknya telah siap bermain keras dalam kancah global.

Memang kekuatan militer China masih tertinggal secara teknologi dan untuk menuntaskan modernisasi militer diperlukan waktu lama. Karena itu untuk merebut keunggulan militer dalam jangka pendek, China membangun armada kapal selam terbesar di dunia, selain juga program lompatan modernisasi terhadap kapasitas teknologi militernya terutama menyangkut rudal balistik, satelit dan cyber war.

Guna menenangkan hati para pemimpin negara lain China mengumandangkan slogan ‘bangkit secara damai’, berupaya keras agar modernisasi militer secara besar-besaran bisa diterima negara-negara tetangga.Untuk itu China bemurah hati menabur investasi dan bantuan pembangunan sembari mengoptimalkan ‘soft power’ melalui diplomasi dan kerja sama budaya dalam rangka membina dan menambah sekutu. Secara sistematis China juga menebar bantuan peralatan sekaligus penaasehat militer khususnya di Asia, Afrika dan Amerika Latin. Hingga saat ini China memang menghindari konflik yang memaksa hadap-hadapan langsung dengan negara-negara Barat, namun sepertinya tidak akan ragu mengerahkan otot militernya kalau itu menyangkut kepentingannya di perbatasan.

Perlu dicatat China adalah satu-satunya negara besar di Asia yang masih belum puas dengan batas-batas darat dan maritimnya. Di sebelah selatan ada kasus Arunachal Pradesh dengan India, lalu di sebelah Timur menyangkut Taiwan, kepulauan Spratly dan Senkaku. Di sebelah utara konflik bisa saja sewaktu-waktu meledak menyangkut kawasan Rusia khususnya di Siberia dan Timur Jauh yang kaya akan air bersih, kayu dan bahan tambang seperti minyak dan batu bara. Saat ini diperkirakan sudah menyusup kurang lebih 100 ribu warga China yang tinggal di kawasan Rusia secara illegal. Dikawatirkan dalam 10 tahun jumlah warga China yang tinggal di kawasan China radius beberapa ratus kilometer dari perbatasan akan membengkak menjadi 100 juta orang sementara hanya sekitar 5 sampai 10 juta warga Rusia yang tinggal bertahan di kawasan Rusia dekat perbatasan dengan China.

Memang Rusia sedang fokus dalam memulihkan pengaruh atas kawasan Eropa Timur, namun tak pelak manuver China di Siberia dan Timur Jauh yang tak terkendali bakal membuat Rusia kehilangan kesabaran. Selama ini Moskow menahan diri semata-mata karena telah menandatangani nota kesepahaman dengan China ketika itu sebagai penyeimbang atas sikap permusuhan dengan Barat. Namun ketegangan antara Rusia dengan Barat bisa saja mencair. Kemungkinan terjalinnya poros Rusia dengan Amerika beserta negara-negara Asia kuat lainnya seperti India bisa jadi satu skenario yang paling dicemaskan China.

Kita juga memasuki babak baru. Sejarah Asia tidak pernah mengalami Jepang dan China yang sama-sama kuat pada saat yang sama, apalagi ditambah dengan kebangkitan India. India yang kuat sebenarnya telah diprediksi lama bahkan beberapa ahli berani meramalkan potensi kekuatan ekonomi India dalam menyalip ekonomi China dan Amerika empat-lima dekade mendatang. Jumlah konsumen kelas menengahnya yang terus melonjak membuat pondasi ekonomi India cukup kuat. Apalagi sekarang ini 50 % penduduknya berusia kurang dari 25 tahun, sehingga pada waktunya nanti India akan menkmati deviden demografi. Setelah persenjataan nuklirnya tak dipermasalahkan lagi oleh Amerika sejak 1996, India makin percaya diri memposisikan dirinya sebagai calon pemimpin Asia. Bahkan kini India juga negara pengimpor senjata terbesar dunia. Hubungannya dengan negara-negara besar lain terjalin baik. India secara teratur melakukan latihan militer tingkat tinggi bersama Angkatan Laut Amerika, Jepang, Indonesia, Singapura dan Vietnam.

Washington barangkali akan menawarkan peran lebih besar khususnya dalam hal keamanan laut di Asia kepada India dan Jepang (meski mungkin enggan melakukan hal yang sama kepada Beijing). Kedigdayaan militer Amerika sendiri patut diakui telah merosot. Perang Irak dan Afganistan telah menguras anggaran negara sehingga membatasi kemampuan AS melansir misi-misi besar lain di masa depan. Usaha memulihkan keunggulan militer khususnya Angkatan Darat dan Laut yang sebagiannya telah hancur dalam dua perang tadi membutuhkan waktu setidaknya satu dekade yang relatif tenang padahal unit-unit tempurnya terus kehilangan kesegaran karena berbagai penugasan.

Kekuatan Amerika yang menurun ini pun telah diakui oleh Presiden Obama dalam pidatonya di West Point beberapa waktu yang lalu sembari mengumumkan niatnya untuk menarik tentara AS dari Afganistan. Kita bisa menangkap perbedaannya dengan suasana kepongahan yang ditunjukkan Presiden Bush dalam pidatonya tentang Perang Irak. Obama dengan tepat menyindir arogansi pendahulunya, “Kita sudah mengabaikan kaitan antara keamanan nasional dengan perekonomian kita.Dalam suasana krisis ekonomi ini, begitu banyak teman dan tetangga kita kehilangan pekerjaan dan berjuang keras menghidupi keluarga…. Sementara itu, persaingan dalam ekonomi global makin tajam saja. Karena itu kita tak boleh lagi bersikap tidak peduli akan mahalnya biaya perang-perang ini.”

Di masa depan bisa-bisa AS harus puas dengan status ‘first amongst equals’di Asia setelah puluhan tahun memegang dominasi sebagai negara adidaya tanpa tanding. Perspektif ini juga tercantum dalam Global Trends 2025, sebuah kajian strategis yang disiapkan bagi Presiden Obama oleh National Intelligence Council (NIC), organ dari Central Intelligence Agency. “Although the United States is likely to remain the single most powerful actor [in 2025],” prediksi NIC, “the United States’ relative strength -- even in the military realm -- will decline and U.S. leverage will become more constrained.”

Dimana posisi Indonesia dan bagaimana menyikapi persaingan yang memanas antar raksasa-raksasa ekonomi yang sekaligus menjadikan diri mereka sebagai raksasa militer? Apakah ada jalan keluar bagi kita selain bekerja keras agar Indonesia pun menjadi ‘raksasa’ pula?

Uyung Sulaksana

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun