Birokrasi gemuk, lamban, cenderung corrupt, membebani Anggaran, tidak professional dsb adalah sebagian dari masalah Birokrasi Indonesia.
Semangat untuk membenahi Birokrasi memang sudah ada, sayangnya tidak terukur, tidak terstruktur, tidak sistemik, tidak massive, akibatnya sulit diaudit,sulit dievaluasi dan sulit dipertanggung jawabkan.
Berangkat dari itu semua perlu standard baku dalam melakukan reformasi Birokrasi, standard baku tersebut menjadi pegangan bersama untuk diimplementasikan secara bertahap, terus menerus dan berkelanjutan dengan harapan seminimal mungkin menimbulkan gejolak sosial dan seoptimal mungkin menghasilkan perubahan perilaku Birokrasi kearah yang lebih baik.
Pemerintah Pusat dan Daerah membikin standard baku dalam menentukan besaran belanja pegawai dikaitkan dengan APBN/APBD secara kebutuhan, artinya ada batas maksimal prosentase belanja pegawai tersebut.
Di samping itu perlu upaya bersama agar penghasilan Birokrat tidak sepenuhnya dibebankan lewat APBN/APBD.
Untuk Daerah pedesaan bisa saja aparat Desa beserta jajarannya diberi hak kelola sebidang tanah,sementara kepemilikan tanah tersebut tetap milik Negara (Desa, Kabupaten, Propinsi, Pusat), bila aparat Desa tersebut berhenti maka hak kelola tanah diserahkan kepada penggantinya.
Kombinasi gaji+hak kelola tanah disamping tidak membebani anggaran juga meningkatkan penghasilan aparat Desa.
Dana Desa bisa digunakan untuk Pembebasan tanah pedesaan yang akan dikelola oleh aparat Desa tersebut,daripada penggunaan Dana Desa selama ini yang patut diduga sebagian dikorupsi, tidak tepat sasaran dan tidak produktif,cuma bagus dari sisi laporan pertanggung jawaban.
Intinya adalah Reformasi Birokrasi yang selama ini digelorakan harus terukur, terstruktur, sistemik dan massive, sehingga bisa dievaluasi dan bisa dipertanggung jawabkan.